Rabu, 26 Januari 2011

Naik Gaji, Kinerja dan Kepedulian Sosial

Rame-rame tentang “curhat” Presiden Bambang Yudoyono beberapa saat lalu ditanggapi dengan sangat antusias oleh banyak pihak. Pengamat politik, akademisi serta masyarakat luas memberikan tanggapan yang luar biasa. Pro kontra dalam bentuk dukungan dan kecaman terhadap pernyataan tersebut sempat bersaing dengan ramenya kasus mafia pajaknya Gayus. Sempat terhenti sebentar saat kemunculan crop circle di Jawa Tengah menjadi headline di banyak media massa. Namun, hari ini presiden dan para pejabat negara mungkin dapat mulai tersenyum. Curhatnya berbuah manis karena ada kabar bahwa gaji pejabat negara akan naik. ( ternyata pernyataan yang lebih tepat adalah penyesuaian :D )

Walah!!!!

Itu komentar spontan saya ketika mendengar seorang penyiar televisi swasta membacakan ringkasan berita yang akan ditayangkan dalam siaran berita tengah hari ini (Rabu, 26 Januari 2011)..

Apakah para petinggi negara sudah sangat buta? Apakah mereka tidak lagi malu mengakui bahwa motif mereka duduk di kursi-kursi panas, menyikut dan menginjak banyak orang untuk sampai ke tempat itu, benar-benar dimotivasi oleh keinginan menjadi orang berkuasa sekaligus menambah pundi-pundi di kantong kulit milik mereka? (atau mungkin lebih tepat rekening bank kalau mengingat situasi saat ini).

Apakah mereka tidak ingat janji dan sumpah yang mereka ucapkan ketika menerima jabatan dan tempat bertugas tersebut? Dan yang paling parah, apakah mereka tidak berkaca dan menilai diri, apakah tugas yang diberikan kepada mereka telah terselesaikan dengan baik, telah dilaksanakan dengan maksimal kemampuan dan ketulusan?

Duuh… Sedih rasanya hati ini…

Jika pejabat negera memahami secara salah konsep kewirausahaan pemerintah. Konsep reformasi demokrasi tersebut akhirnya hanya diartikan sebagai upaya mencari untung sebesar-besarnya dengan mengeluarkan modal sekecil-kecilnya dan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitarnya semaksimal mungkin, alih-alih benar-benar diartikan secara lengkap, menyeluruh dan bertujuan mulia demi kesejahteraan rakyat.

Apa jadinya jika para calon pejabat di masa yang akan datang meneladani contoh yang diberikan para pejabat seniornya? Tak aka nada lagi perbedaan antara pejabat negara, pegawai negeri dengan pengusaha dan pegawai swasta yang memang memiliki motivasi ekonomi yang jauh lebih besar daripada pelayanan kepada negara. Ironisnya pengusaha malah ada yang jauh lebih “care” kepada rakyat daripada pejabat negara. Sungguh apakah perubahan iklim di dunia juga mengakibatkan jungkir baliknya ideologi dan prinsip dasar seorang manusia???

Mudah-mudahan tidak.

Penulis sangat percaya pada Allah yang menjadi sumber dan akhir dan menguasai seluruh alam semesta. Jika ada yang keliru, pasti ada yang akan mengembalikannya ke arah yang benar. Jika ada yang terpleset atau tercebur ke dalam lumpur, pasti ada yang akan menarik dan mengangkatnya hingga selamat.

Namun penulis juga percaya bahwa Allah membenci umatnya yang tidak berusaha. Jadi walaupun keadilan itu ada, harus ada yang mulai membuat perubahan. Mulai dari hal kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari SEKARANG. Not later, not tomorrow. NOW!!!

Hehehe.. lagi-lagi bahasan jadi beralih ke semangat juang..

Kembali ke masalah awal, persoalan gaji pejabat negara (dan juga pegawai negeri pada umumnya) memang harus distandarisasi. Gaji pokok dihubungkan dengan standar hidup layak seseorang. Penghasilan tambahan seharusnya disesuaikan dengan beban tugas, tingkat resiko dan kinerja yang dicapai. Dengan demikian penulis setuju dan mendukung pernyataan Menteri PAN untuk membuat standarisasi tersebut.

Namun sebagai pegawai negeri selama nyaris sewindu, penulis mengetahui bahwa konsep standarisasi gaji bagi pegawai negera bukanlah konsep baru. Pada saat pemerintahan BJ.Habibie hal ini sudah dimulai pemikiran dan kegiatan awalnya. Salah satunya adalah pendaftaran ulang pegawai negeri seluruh Indonesia, yang didalamnya juga mencantumkan pertanyaan tentang beban kerja tiap pegawai. Hal inilah yang kemudian membawa pada penerbitan nomor induk pegawai nasional dan seharusnya berlanjut pada evaluasi dan revisi sistem penggajian pegawai negara (dan seharusnya pejabat negara).

Jika ada yang bertanya pada saya, apa yang akan saya lakukan dengan standarisasi tersebut, dan hubungannya dengan “curhat” pak bambang tentang penghasilannya, maka jawaban saya adalah demikian.

Banyak sekali alternatif pengaturan gaji pegawai dan pejabat negara. Nah, jika kita mengacu pada stadar layak hidup layak, maka sebaiknya gaji pokok presiden pun sama dengan gaji pegawai negara dengan golongan pangkat tertinggi. Artinya… gaji presiden yang sekarang jadi terlalu besar. Tindakannya, turunkan gaji pokok presiden.

Lalu bagaimana pembedanya dengan pegawai negara lainnya?

Nah disinilah perhitungan beban kerja, resiko jabatan serta kinerja presiden yang perlu dianalisis dan dihitung dan ditentukan nilai uangnya. Jadi yang bakal besar adalah tunjangan jabatannya, bukan gaji pokok. Dengan demikian, kompleksitas dan beratnya beban tugas sebagai presiden dihargai, namun sekaligus peka terhadap kondisi sosial negara yang dipimpinnya..

Bagaimana? Ada pemikiran lain?

Tidak ada komentar: