Rabu, 23 Maret 2011

Seandainya aku menjadi…


Perbincangan di sebuah televisi swasta telah membuatku ingin berbicara lebih lantang. Hal terbaru yang kudengar hari ini (bukan berarti temanya baru) adalah maju mundurnya pemerintah pusat dalam memutuskan kebijakan penggunaan BBM, khususnya untuk kendaraan bermotor yang masih disubsidi. Apakah hanya dinaikkan sebesar Rp.500,- ataukah dengan pembatasan BBM, ataukah….

Sengaja tak kuteruskan karena bukan itu yang mau dibahas.

Nah, kembali kepada judul tulisan kali ini, sepertinya serial tulisan ini bagus juga diangkat. Mohon maaf jika ada televisi swasta yang merasa programnya dibajak. Tidak bermaksud untuk menjiplak, justru memberikan ide-ide baru yang mungkin saja bisa diangkat kedalam program reality show tersebut.

Tulisah pertama dari serial tulisan “ Seandainya Aku Menjadi..” adalah


“Seandainya Aku Menjadi Walikota Pekanbaru” (1)

Kenapa judul ini yang dipilih? Ada beberapa alasan. Alasan pertama, penulis adalah warga Kota Pekanbaru. Jadi wajar jika tulisan juga dikhususkan untuk kota panas lembab namun tetap tercinta ini. Yang kedua, Kota Pekanbaru adalah kota yang sedang bertumbuh kembang sangat pesat, sehingga butuh sekali bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun materiil. Yang ketiga, saat ini Kota Pekanbaru sedang menjalani proses pemilihan langsung kepala daerah. Jadi sangat tepat rasanya jika tulisan ini dapat menjadi sedikit masukan bagi para bakal calon walikota dan wakil walikota yang akan bertugas mengelola pembangunan Kota Pekanbaru dalam kurun waktu 5 (lima) tahun ke depan.

Mari kita mulai…

Seandainya Aku Menjadi Walikota Pekanbaru, maka yang pertama kali akan aku lakukan adalah melakukan “problem scanning”. Telaah ini tidak perlu terlalu lama karena itu dapat dilakukan nanti. Cukup cari tahu masalah yang terlihat mencuat di permukaan. Nah, masalah utama yang langsung menonjol adalah masalah transportasi. Setiap hari jalan-jalan utama Kota Pekanbaru mulai terlihat penuh. Kata sebagian orang, Pekanbaru mulai macet. Masalah transportasi ini ternyata merambat ke mana-mana. Mulai dari kurangnya jalan untuk menampung kendaraan, masih kurangnya keinginan masyarakat untuk memilih kendaraan umum daripada kendaraan pribadi, jarak antara rumah tinggal dan tempat kerja yang panjang, kemudahan dalam perolehan kendaraan pribadi karena praktek leasing yang menggiurkan. Bagaimana tidak? Dengan Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) seseorang bisa membawa sepeda motor pulang. Nah, jika persoalan ini dikombinasikan dengan kepusingan Pemerintah Pusat dalam mengadakan BBM untuk rakyat, maka ada solusi yang wajib segera dilaksanakan.

Seandainya Saya Menjadi Walikota Pekanbaru, program pertama yang akan saya ajukan dan laksanakan adalah pembangunan rumah susun dinas bagi seluruh pejabat kota Pekanbaru. Kenapa? Karena makin ke sini, tiap pejabat Kota makin menjauh dari pusat pemerintahan karena memilih bertempat tinggal yang layak namun tetap terjangkau. Yang ada adalah pemilihan rumah tinggal yang berwaktu tempuh lebih dari 45 menit dari pusat kota. Kenapa waktu tempuh? Karena lokasinya yang di tepi kota, akan tersedat di jalan-jalan utama kota yang dipenuhi warga kota lainnya yang juga berdomisili sama dan bertempat kerja di pusat kota (perhatikan. Hal ini sudah seperti masalah yang terjadi Jabodetabek).

Untuk gambaran, rumah susun pejabat Kota Pekanbaru tidak hanya mencakup jajaran pemerintahan, namun juga untuk para wakil rakyat yang terhormat (anggota DPRD Kota Pekanbaru).

Kenapa rumah susun? Selain mendukung program pemerintah dalam hal pengadaan rumah tinggal rakyat dan menghemat lahan perkotaan, keberadaan rumah susun bagi pejabat kota akan memudahkan komunikasi antar pejabat kota dan pejabat kota dengan masyarakat. Kenapa? Jika antar pejabat kota ingin berkoordinasi atau berdiskusi di luar jam kantor, mereka tinggal turun dan bertemu di lobby rumah susun (bagus lagi jika di lingkungan rumah susun dilengkapi dengan lapangan badminton dan lapangan futsal). Demikian juga dengan masyarakat yang ingin bertemu dengan pejabat tidak perlu pusing tujuh keliling mencari karena rumah semua pejabat di satu tempat.

Keuntungan yang kedua dari dibangunnya rumah susun ini adalah pengurangan mobil dinas pejabat. Dengan “merumahsusunkan” para pejabat, maka mobil dinas untuk tiap jabatan bisa dihilangkan dan diganti dengan bus yang berkapasitas lebih besar. Jika pun ada mobil dinas, sifatnya lebih pada mobil operasional yang diinapkan di kantor dinas, bukan di rumah dinas pejabat. Dengan pengurangan mobil dinas pejabat, maka pengeluaran untuk biaya operasional kendaraan juga berkurang drastis. Diantaranya, berkurang pula penggunaan BBM. Begitu juga dengan jumlah kendaraan dinas yang memenuhi jalan raya Pekanbaru karena aktivitas pulang perginya para pejabat dari rumah tinggal-kantor.

Nah, sementara ini dulu yang saya ungkapkan. Saya khawatir jika di tulisan pertama ini terlalu banyak buka konsep, esok hari saya malah langsung didaulat untuk jadi Walikota Pekanbaru beneran, hehehe…

Rabu, 23 Februari 2011

Taman Bacaan dan Rumah Literatur

Akhirnya....

Konsep toko buku yang ingin vitri buka makin lengkap dan padat.

Tulisan ini dimaksudkan untuk pengumuman awal dan pra promosi untuk aktivitas di tengah tahun 2011 ini.

Karena kebutuhan akan literatur yang baik dan murah menjadi hal yang selalu vitri rasakan, dan Pekanbaru walau sudah punya beberapa toko buku besar, tetap saja tidak dapat memuaskan kebutuhan tersebut, maka kemudian terpikir... "kenapa tidak kalo vitri yang menyediakan literatur tersebut?"

Dengan melihat beberapa toko buku, perpustakaan dan kafe yang ada di Bandung, muncullah konsep toko buku yang mengusung tema kafe buku. Tempat yang mengambil bangunan rumah sehingga akan terkesan homey, dilengkapi dengan free hotspot serta pedagang-pedagang kaki lima yang diatur secara apik akan menjadikan tempat nongkrong baru di Pekanbaru ini akan menjadi salah satu alternatif bagi warga kota yang ingin bersantai, kerja kelompok, atau memang khusus mencari literatur yang dibutuhkan demi kelancaran studi atau pekerjaannya..

Rencananya, taman bacaan dan rumah literatur ini akan beroperasi pada bulan Juli/Agustus 2011.. Namun jika tidak ada halangan, mulai bulan Mei 2011, taman bacaannya sudah dapat dinikmati untuk umum. Hanya saja karena untuk sementara akan dikelola sendiri ya bukanya disesuaikan dengan jam kerja vitri..

Jadi....

Tunggu ya kabar selanjutnya...

Dan bagi yang memiliki buku-buku bekas yang ingin disumbangkan, vitri akan sangat berterima kasih. Karena artinya koleksi taman bacaan akan makin lengkap dan masyarakat Pekanbaru-Riau makin mudah mengakses bacaan yang baik dan bermutu..

Salam pencerahan...

Jumat, 18 Februari 2011

Kita Indonesia, Bukan Amerika, Eropa, Arab atau India

Beberapa waktu terakhir ini semua media massa menampilkan bagaimana rendahnya posisi warga negara di Indonesia.. Ketidak setujuan akan sesuatu diikuti dengan tindakan ekstrim dan anarkis berakhir korban jiwa..

Miris....

Ke mana rasa toleransi kita? Di mana rasa sayang sesama anak bangsa Indonesia?

Kita Indonesia, kawan... Bukan Amerika, Eropa, Arab, atau India.

Dari awal persatuan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, kita jelas-jelas tahu bahwa kita berbeda.. Tak satu bahasa, tak satu suku bangsa. Namun bertekad bersatu dalam satu bangsa, Bangsa Indonesia..

Toleransi adalah hal yang sangat indah, yang menjadi "brand" Indonesia di dunia. Orang berdatangan untuk belajar dari Indonesia, bagaimana dapat hidup berdampingan antar agama yang berbeda, budaya yang berbeda, bahasa yang berbeda, warna baju yang berbeda..

lalu....

Apa yang terjadi sekarang? sesama saudara saling pukul.. Sesama saudara saling lempar. Dan Astaga.... ada saudara yang bunuh saudaranya karena mereka berbeda..

Sedih....

Mudah-mudahan para pendahulu kita sudah tenang di alam sana. Karena kalau tidak, mereka akan menangis dan akibatnya Indonesia akan tenggelam oleh air mata mereka..

Ingat teman, KITA INI INDONESIA, bukan Amerika, Eropa, Arab atau India..

Rabu, 16 Februari 2011

Bergaul.. Susah-susah Gampang...


Usia yang makin matang ternyata tidak selalu diikuti dengan kematangan dan kesiapan mental yang sama matangnya..

Merasa diri sudah bersikap sangat fair dan jujur sejak awal bergaul ternyata tidak cukup untuk menjaga hubungan pertemanan langgeng hingga nanti

Tanpa sadar ternyata ada hati yang tersakiti oleh sikap dan cara hidup yang oleh seseorang terasa sangat wajar karena perjalanan pengalaman yang telah dilalui

Terlebih karena banyak teman-teman lain yang sama sekali tidak keberatan dengan cara pandang dan keputusan yang diambil dalam berteman dan bergaul dengan manusia lainnya..

Pria... Wanita... sama-sama manusianya. Sama-sama memiliki rasa.. sama-sama memiliki hak memilih dan memutuskan..

Agama dan norma sosial memang mengikat namun terkadang sebagai seorang manusia merasa butuh mengikuti kata hatinya.. Karena Hanya Allah semata yang bisa memutuskan apakah kita berdosa atau hanya berbeda..

Namun tetap...

Tiap manusia, pria atau wanita, memiliki hak untuk berpendapat, memilih dan memutuskan..

Karenanya, walau sedikit sedih, seorang manusia harus menghargai keputusan manusia lainnya..

Tetaplah berbahagia, teman.... Karena aku akan selalu tetap menganggapmu teman, walau apa yang telah engkau putuskan untukku..

Jumat, 04 Februari 2011

Belajar dari Suharto dan Mubarak

Kedua tokoh ini dengan cara dan nasibnya masing-masing telah membawa negaranya melangkah maju dari posisi saat pertama kali mereka "menduduki" kursi presiden.
Keduanya mungkin sekali memiliki mimpi indah dan semangat berkobar untuk wujudkan apa yang mereka inginkan mengenai negara yang mereka pimpin..
Untuk beberapa saat (dan bukan masa yang singkat) negara yang mereka pimpin muncul sebagai negara-negara dengan karakter kuat sekaligus stabil..
Namun makin lama berkuasa tentu tidak lepas dari godaan dan gangguan dari kanan dan kiri..

Sebagai tokoh yang beda di puncak piramida, banyak sekali pendukung yang juga ingin melanggengkan posisi dan kesempatan tertentu yang telah mereka dapatkan selama berada di bawah sistem yang ada..
Lamanya berada di posisi puncak sering membuat seorang manusia tidak lagi punya tantangan yang "seimbang".
Terlalu banyak melihat dari atas membuat tokoh-tokoh hebat di masanya ini "jauh" dari akar rumput yang tadi menjadi pendukung setia kepemimpinan mereka
Terlalu banyak hirarki antara dirinya dan rakyat membuat informasi tak lagi sampai dengan murni..
Seperti yang sering disebutkan (termasuk Sang Nabi Muhammad SAW) bahwa titip uang kurang, titip kata-kata berlebih..
Inilah yang mungkin sekali terjadi pada tokoh-tokoh penegak kestabilan negara yang sudah pasti mereka cintai (karena mereka sama-sama ingin mati di negara tempat mereka lahir dan berkarya)
Mereka terlalu lama berada di posisi puncak. Tak tahu lagi mana yang benar-benar tulus membantu atau yang mana yang datang dengan kepentingan pribadi.. Yang paling logis adalah mempercayai istri dan anak-anak yang mereka miliki.
Karena itu tak jarang kemudian muncul istilah menyiapkan putra (atau putri) mahkota untuk menggantikan posisi panas yang mereka pegang terlalu lama.
Sungguh... saya hanya dapat merasakan kesepian yang mereka hadapi setiap harinya entah sejak kapan..

Lalu.....

Rakyat mereka cintai meminta mereka untuk mundur...

Tersentak... kedua tokoh ini langsung bereaksi dengan caranya masing-masing..

Kita sudah melihat keputusan yang diambil Suharto..

Dan kita sedang menunggu, keputusan apa yang akan diambil Mubarak

Mari belajar dari kedua tokoh ini, Saudara-saudaraku...

Terutama yang ingin berada di kursi panas di puncak piramida yang amat sungguh tinggi, dingin dan sepi..

Senin, 31 Januari 2011

Obrolan Santai berbuah Ide Serius


Hari minggu ini (30 Januari 2011), lagi-lagi penulis mendapat kesempatan untuk bertemu dengan beberapa teman di sebuah tempat nongkrong anak muda Kota Bandung. Tempat kita-kita yang ingin ngobrol lama dan nyaman walau cuma pesan satu jenis minuman untuk masing-masing pesertanya…

Hanya saja hari ini peserta ngobrol jadi sempat mengalami perubahan (tepatnya penambahan) dua kali hingga akhirnya bubar untuk melanjutkan aktivitas masing-masing..

Karena niat awalnya hanyalah silaturahim, ya yang dibicarakan menjadi sangat luas dan bervariasi. Mulai dari bertanya tentang kesibukan yang sedang digeluti tiap orang, perbincangan bergulir ke arah yang lebih serius. Pembicaraan mengenai penanganan kota, mula dari Jeddah yang banjir terus-terusan karena tidak adanya sistem drainase hingga masalah Bandung yang berubah dari salah satu kota terindah di dunia pada awal abad 20 menjadi kota tak berwajah di masa modem dan ponsel ini.

Tema pembicaraan terus berubah dengan dinamis, antara serius dan bercanda sehingga kepala tidak meledak karena banyaknya persoalan bangsa serta munculnya ide dan konsep-konsep untuk perbaikan kondisi Negara Indonesia tercinta ini..

Materi lengkap perbincangan generasi muda Indonesia ini tidak akan saya ungkapkan di sini. Selain ribet nulisnya, juga karena masalah HAKI yang perlu dipertimbangkan. Konsep-konsep besar yang terlalu prematur diekspose sering kali dipergunakan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi. Masih mending jika pengembangan konsep curian itu sesuai dengan arah yang ingin dituju sumber asli. Tapi lebih sering malah menjadi sumber kehancuran baru.

Bermula dari meja makan, sumpah pemuda terdeklarasi. Bermula dari meja makan, naskah proklamasi menandai kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman bangsa-bangsa asing. Nah.. kira-kira apa ya yang akan terbentuk dari meja makan yang ini?

Rabu, 26 Januari 2011

Naik Gaji, Kinerja dan Kepedulian Sosial

Rame-rame tentang “curhat” Presiden Bambang Yudoyono beberapa saat lalu ditanggapi dengan sangat antusias oleh banyak pihak. Pengamat politik, akademisi serta masyarakat luas memberikan tanggapan yang luar biasa. Pro kontra dalam bentuk dukungan dan kecaman terhadap pernyataan tersebut sempat bersaing dengan ramenya kasus mafia pajaknya Gayus. Sempat terhenti sebentar saat kemunculan crop circle di Jawa Tengah menjadi headline di banyak media massa. Namun, hari ini presiden dan para pejabat negara mungkin dapat mulai tersenyum. Curhatnya berbuah manis karena ada kabar bahwa gaji pejabat negara akan naik. ( ternyata pernyataan yang lebih tepat adalah penyesuaian :D )

Walah!!!!

Itu komentar spontan saya ketika mendengar seorang penyiar televisi swasta membacakan ringkasan berita yang akan ditayangkan dalam siaran berita tengah hari ini (Rabu, 26 Januari 2011)..

Apakah para petinggi negara sudah sangat buta? Apakah mereka tidak lagi malu mengakui bahwa motif mereka duduk di kursi-kursi panas, menyikut dan menginjak banyak orang untuk sampai ke tempat itu, benar-benar dimotivasi oleh keinginan menjadi orang berkuasa sekaligus menambah pundi-pundi di kantong kulit milik mereka? (atau mungkin lebih tepat rekening bank kalau mengingat situasi saat ini).

Apakah mereka tidak ingat janji dan sumpah yang mereka ucapkan ketika menerima jabatan dan tempat bertugas tersebut? Dan yang paling parah, apakah mereka tidak berkaca dan menilai diri, apakah tugas yang diberikan kepada mereka telah terselesaikan dengan baik, telah dilaksanakan dengan maksimal kemampuan dan ketulusan?

Duuh… Sedih rasanya hati ini…

Jika pejabat negera memahami secara salah konsep kewirausahaan pemerintah. Konsep reformasi demokrasi tersebut akhirnya hanya diartikan sebagai upaya mencari untung sebesar-besarnya dengan mengeluarkan modal sekecil-kecilnya dan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitarnya semaksimal mungkin, alih-alih benar-benar diartikan secara lengkap, menyeluruh dan bertujuan mulia demi kesejahteraan rakyat.

Apa jadinya jika para calon pejabat di masa yang akan datang meneladani contoh yang diberikan para pejabat seniornya? Tak aka nada lagi perbedaan antara pejabat negara, pegawai negeri dengan pengusaha dan pegawai swasta yang memang memiliki motivasi ekonomi yang jauh lebih besar daripada pelayanan kepada negara. Ironisnya pengusaha malah ada yang jauh lebih “care” kepada rakyat daripada pejabat negara. Sungguh apakah perubahan iklim di dunia juga mengakibatkan jungkir baliknya ideologi dan prinsip dasar seorang manusia???

Mudah-mudahan tidak.

Penulis sangat percaya pada Allah yang menjadi sumber dan akhir dan menguasai seluruh alam semesta. Jika ada yang keliru, pasti ada yang akan mengembalikannya ke arah yang benar. Jika ada yang terpleset atau tercebur ke dalam lumpur, pasti ada yang akan menarik dan mengangkatnya hingga selamat.

Namun penulis juga percaya bahwa Allah membenci umatnya yang tidak berusaha. Jadi walaupun keadilan itu ada, harus ada yang mulai membuat perubahan. Mulai dari hal kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari SEKARANG. Not later, not tomorrow. NOW!!!

Hehehe.. lagi-lagi bahasan jadi beralih ke semangat juang..

Kembali ke masalah awal, persoalan gaji pejabat negara (dan juga pegawai negeri pada umumnya) memang harus distandarisasi. Gaji pokok dihubungkan dengan standar hidup layak seseorang. Penghasilan tambahan seharusnya disesuaikan dengan beban tugas, tingkat resiko dan kinerja yang dicapai. Dengan demikian penulis setuju dan mendukung pernyataan Menteri PAN untuk membuat standarisasi tersebut.

Namun sebagai pegawai negeri selama nyaris sewindu, penulis mengetahui bahwa konsep standarisasi gaji bagi pegawai negera bukanlah konsep baru. Pada saat pemerintahan BJ.Habibie hal ini sudah dimulai pemikiran dan kegiatan awalnya. Salah satunya adalah pendaftaran ulang pegawai negeri seluruh Indonesia, yang didalamnya juga mencantumkan pertanyaan tentang beban kerja tiap pegawai. Hal inilah yang kemudian membawa pada penerbitan nomor induk pegawai nasional dan seharusnya berlanjut pada evaluasi dan revisi sistem penggajian pegawai negara (dan seharusnya pejabat negara).

Jika ada yang bertanya pada saya, apa yang akan saya lakukan dengan standarisasi tersebut, dan hubungannya dengan “curhat” pak bambang tentang penghasilannya, maka jawaban saya adalah demikian.

Banyak sekali alternatif pengaturan gaji pegawai dan pejabat negara. Nah, jika kita mengacu pada stadar layak hidup layak, maka sebaiknya gaji pokok presiden pun sama dengan gaji pegawai negara dengan golongan pangkat tertinggi. Artinya… gaji presiden yang sekarang jadi terlalu besar. Tindakannya, turunkan gaji pokok presiden.

Lalu bagaimana pembedanya dengan pegawai negara lainnya?

Nah disinilah perhitungan beban kerja, resiko jabatan serta kinerja presiden yang perlu dianalisis dan dihitung dan ditentukan nilai uangnya. Jadi yang bakal besar adalah tunjangan jabatannya, bukan gaji pokok. Dengan demikian, kompleksitas dan beratnya beban tugas sebagai presiden dihargai, namun sekaligus peka terhadap kondisi sosial negara yang dipimpinnya..

Bagaimana? Ada pemikiran lain?

Naik Gaji, Kinerja dan Kepedulian Sosial

Rame-rame tentang “curhat” Presiden Bambang Yudoyono beberapa saat lalu ditanggapi dengan sangat antusias oleh banyak pihak. Pengamat politik, akademisi serta masyarakat luas memberikan tanggapan yang luar biasa. Pro kontra dalam bentuk dukungan dan kecaman terhadap pernyataan tersebut sempat bersaing dengan ramenya kasus mafia pajaknya Gayus. Sempat terhenti sebentar saat kemunculan crop circle di Jawa Tengah menjadi headline di banyak media massa. Namun, hari ini presiden dan para pejabat negara mungkin dapat mulai tersenyum. Curhatnya berbuah manis karena ada kabar bahwa gaji pejabat negara akan naik. ( ternyata pernyataan yang lebih tepat adalah penyesuaian :D )

Walah!!!!

Itu komentar spontan saya ketika mendengar seorang penyiar televisi swasta membacakan ringkasan berita yang akan ditayangkan dalam siaran berita tengah hari ini (Rabu, 26 Januari 2011)..

Apakah para petinggi negara sudah sangat buta? Apakah mereka tidak lagi malu mengakui bahwa motif mereka duduk di kursi-kursi panas, menyikut dan menginjak banyak orang untuk sampai ke tempat itu, benar-benar dimotivasi oleh keinginan menjadi orang berkuasa sekaligus menambah pundi-pundi di kantong kulit milik mereka? (atau mungkin lebih tepat rekening bank kalau mengingat situasi saat ini).

Apakah mereka tidak ingat janji dan sumpah yang mereka ucapkan ketika menerima jabatan dan tempat bertugas tersebut? Dan yang paling parah, apakah mereka tidak berkaca dan menilai diri, apakah tugas yang diberikan kepada mereka telah terselesaikan dengan baik, telah dilaksanakan dengan maksimal kemampuan dan ketulusan?

Duuh… Sedih rasanya hati ini…

Jika pejabat negera memahami secara salah konsep kewirausahaan pemerintah. Konsep reformasi demokrasi tersebut akhirnya hanya diartikan sebagai upaya mencari untung sebesar-besarnya dengan mengeluarkan modal sekecil-kecilnya dan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitarnya semaksimal mungkin, alih-alih benar-benar diartikan secara lengkap, menyeluruh dan bertujuan mulia demi kesejahteraan rakyat.

Apa jadinya jika para calon pejabat di masa yang akan datang meneladani contoh yang diberikan para pejabat seniornya? Tak aka nada lagi perbedaan antara pejabat negara, pegawai negeri dengan pengusaha dan pegawai swasta yang memang memiliki motivasi ekonomi yang jauh lebih besar daripada pelayanan kepada negara. Ironisnya pengusaha malah ada yang jauh lebih “care” kepada rakyat daripada pejabat negara. Sungguh apakah perubahan iklim di dunia juga mengakibatkan jungkir baliknya ideologi dan prinsip dasar seorang manusia???

Mudah-mudahan tidak.

Penulis sangat percaya pada Allah yang menjadi sumber dan akhir dan menguasai seluruh alam semesta. Jika ada yang keliru, pasti ada yang akan mengembalikannya ke arah yang benar. Jika ada yang terpleset atau tercebur ke dalam lumpur, pasti ada yang akan menarik dan mengangkatnya hingga selamat.

Namun penulis juga percaya bahwa Allah membenci umatnya yang tidak berusaha. Jadi walaupun keadilan itu ada, harus ada yang mulai membuat perubahan. Mulai dari hal kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari SEKARANG. Not later, not tomorrow. NOW!!!

Hehehe.. lagi-lagi bahasan jadi beralih ke semangat juang..

Kembali ke masalah awal, persoalan gaji pejabat negara (dan juga pegawai negeri pada umumnya) memang harus distandarisasi. Gaji pokok dihubungkan dengan standar hidup layak seseorang. Penghasilan tambahan seharusnya disesuaikan dengan beban tugas, tingkat resiko dan kinerja yang dicapai. Dengan demikian penulis setuju dan mendukung pernyataan Menteri PAN untuk membuat standarisasi tersebut.

Namun sebagai pegawai negeri selama nyaris sewindu, penulis mengetahui bahwa konsep standarisasi gaji bagi pegawai negera bukanlah konsep baru. Pada saat pemerintahan BJ.Habibie hal ini sudah dimulai pemikiran dan kegiatan awalnya. Salah satunya adalah pendaftaran ulang pegawai negeri seluruh Indonesia, yang didalamnya juga mencantumkan pertanyaan tentang beban kerja tiap pegawai. Hal inilah yang kemudian membawa pada penerbitan nomor induk pegawai nasional dan seharusnya berlanjut pada evaluasi dan revisi sistem penggajian pegawai negara (dan seharusnya pejabat negara).

Jika ada yang bertanya pada saya, apa yang akan saya lakukan dengan standarisasi tersebut, dan hubungannya dengan “curhat” pak bambang tentang penghasilannya, maka jawaban saya adalah demikian.

Banyak sekali alternatif pengaturan gaji pegawai dan pejabat negara. Nah, jika kita mengacu pada stadar layak hidup layak, maka sebaiknya gaji pokok presiden pun sama dengan gaji pegawai negara dengan golongan pangkat tertinggi. Artinya… gaji presiden yang sekarang jadi terlalu besar. Tindakannya, turunkan gaji pokok presiden.

Lalu bagaimana pembedanya dengan pegawai negara lainnya?

Nah disinilah perhitungan beban kerja, resiko jabatan serta kinerja presiden yang perlu dianalisis dan dihitung dan ditentukan nilai uangnya. Jadi yang bakal besar adalah tunjangan jabatannya, bukan gaji pokok. Dengan demikian, kompleksitas dan beratnya beban tugas sebagai presiden dihargai, namun sekaligus peka terhadap kondisi sosial negara yang dipimpinnya..

Bagaimana? Ada pemikiran lain?