Minggu, 06 Desember 2009

Apriori: budaya dasar atau hasil pengajaran?

Melihat berita akhir-akhir ini membuatku jadi berfikir.

Kasus bank century dan hak angket yang diusung oleh DPR, Mr.Presiden yang berulang kali menyatakan "perasaannya" sehingga menimbulkan polemik, hingga pada pelarangan film dokumenter Balibo Five yang diproduksi oleh Australia.

Setiap pemberitaan dan reaksi yang dikeluarkan oleh masyarakat (lewat komentar-komentar di berita online dan situs-situs pertemanan) seperti serpihan kertas yang berhamburan di bumi Indonesia yang (dulu) diagung-agungkan memiliki karakter ramah. 

Kesan ramah dan terbuka terhadap orang atau budaya asing entah kapan telah berubah menjadi budaya saling curiga, membuat provokasi dan berputar-putar di dalam lingkaran dan bola yang gelap. Koq ya lama-lama seperti hamster aja, hehehe.,

Apa yang salah di sini? apakah para pembuat buku yang salah menyelami budaya bangsa sehingga yang tertera di buku dan dihapalkan anak-anak SD (minimal zamanku dulu sih. ga tau deh sekarang) ataukah memang terdapat pergeseran budaya akibat penghilangan pengajaran tentang budi pekerti?

Mengambil kasus yang paling baru saja, yaitu tentang pelarangan pemutaran film dokumenter Balibo Five. Di masa persebaran informasi yang sangat mudah seperti ini, pelarangan sepertinya hanya membuat orang menjadi penasaran dan mengemukakan keberatan secara terbuka. Bahkan kemudian muncul kelompok yang terang-terangan "melanggar" larangan tersebut. 

Pernyataan beberapa pihak yang menyudutkan film ini malah membuat film ini menjadi lebih populer. Dan yang menurutku berbahaya justru akibat berikutnya. Dengan berbagai kemampuan serap informasi yang beragam, pihak-pihak yang penasaran dan menonton secara sembunyi-sembunyi atau sepotong-sepotong lewat internet malah membuat informasi yang ingin disampaikan film tersebut menjadi tidak lengkap. Penafsirannya menjadi sangat-sangat subjektif.

Sama seperti film 2012 yang sempat menimbulkan gelombang protes dari beberapa kelompok agama justru membuatnya makin dicari masyarakat.

Jadi, untuk film yang dipercaya beberapa pihak (khususnya pemerintah) akan membahayakan posisi Indonesia-Timor Leste dan TNI seharusnya disikapi dengan lebih bijaksana. Masa sekarang dikala anak umur 3 tahun saja bisa protes kalo diharuskan tidur siang dan meminta alasan kenapa harus melakukannya, maka tentunya sikap terhadap film yang menjadi konsumsi banyak orang dewasa ini juga harus lebih rasional.

Menurutku tidak ada penuturan sejarah yang benar-benar tepat. Perbedaan itulah yang membuat orang menjadi lebih kaya, mencoba memahami berbagai cara pandang seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu peristiwa.

Jadi biarkan sajalah film dokumenter yang diproduksi oleh teman2 (sebagai warga dunia yang berfikir dan berperasaan positif, tiap orang di dunia adalah teman) di Australia itu. Jika memang pemerintah Indonesia atau pihak-pihak lain merasa memiliki informasi atau data yang berbeda, buatlah tandingannya (ide ini telah disampaikan beberapa pihak). Atau kalau memang membuat film tidak mudah, minimal buatlah forum-forum diskusi yang mendampingi pemutaran film Balibo Five. 

Seharusnya kita mulai meninggalkan budaya berprasangka. Mulailah membawanya ke tataran yang lebih rasional dan objektif. Buat masyarakat lebih pintar dengan mendiskusikan perbedaan dan menerima perbedaan cara pandang atau cara pikir. Bukannya memaksakan satu pemikiran dan mematikan yang lain.

Selamat belajar

Jumat, 13 November 2009

Opera Sabun Peradilan dan Pemberantasan Korupsi

Lagi-lagi...

Posting tengah malem karena sel-sel otak terlalu aktif.. (nape ye? hehehe..)

Kali ini yang terpikir adalah pemberitaan media massa yang dipenuhi oleh kisah-kisah sedih, dramatis, menegangkan, menjengkelkan dan menggemaskan, yang melibatkan unsur-unsur institusi penting di negara ini.  Sebut saja Polri, KPK, Kejaksaan, DPR, dan masih ada beberapa gabungan tokoh lainnya..

Tak perlulah kisah itu diceritakan di sini karena toh cukup klik-klik berapa kali sudah berbagai informasi tersaji lengkap (dan berulang-ulang)

Yang menjadi pokok pikiran adalah bagaimana posisi kita di kondisi negeri yang sepertinya sudah kehilangan banyak nilai-nilai luhur (coba tanya, sebenarnya kita benar-benar punya nilai luhur ga sih? Wakssss!!!!! jangan harap aku akan menjawab. ffffhh..)

Yah.. diluar perdebatan baru mengenai nilai-nilai luhur yang sebenarnya dimiliki oleh bangsa ribuan pulau dan jutaan rasa (anggap aja tiap orang punya 1 rasa. kan jadi jutaan tuh kalo dikumpulkan), masing-masing kita memiliki pilihannya sendiri-sendiri. Apakah murni akan terus jadi penonton, atau akan ikut serta dalam percaturan panggung sandiwara kehidupan di bumi Indonesia tercinta ini. 

Hmm... tapi sebenarnya apa mungkin ada yang benar-benar bisa hanya jadi penonton? penonton pun harus tetap hidup. dan untuk hidup di bumi ini pasti bersinggungan dengan orang lainnya yang juga mau hidup di bumi yang sama. Nah.. mau tak mau tiap orang harus memilih perannya. (Duuh.. ribet.. Ingat saja deh lagunya God Bless, hehehe...)

Mengulang kata mutiara usang yang semua hal itu haruslah bermula dari diri sendiri, dari sekarang dan dari yang kecil (ga inget urutannya, tp seperti itulah kira-kira). Walau kita gemes dan gregetan melihat opera sabun yang tengah terjadi, paling tidak lakukanlah kehidupan pribadimu dengan sungguh-sungguh. Jika dirimu petani, bertanilah dengan sungguh-sungguh. Jika dirimu peneliti, menelitilah dengan sungguh-sungguh. Jika dirimu pengajar, mengajarlah dengan sungguh-sunguh. Jika dirimu pelajar, belajarlah dengan sungguh-sungguh. (Uh.. saat ini aku termasuk yang terakhir deh)

Jadi... selamat berperan. walau ga jelas sutradara dan penulis naskahnya, yang jelas butuh banyak kemampuan berimprovisasi dan beradaptasi dengan pemeran-pemeran lain.

Untuk opera sabun yang sedang berlangsung, mudah-mudahan apapun endingnya nanti, akan dapat memberikan pelajaran dan hikmah bagi semua pihak (termasuk kita-kita ini yang jadi penonton)

Sabtu, 24 Oktober 2009

deklarasi capres dan cawapres 2024

Tak lama sejak menurunkan tulisan sebelumnya, vitri terlibat diskusi yang cukup menarik dengan seorang teman. Walau percakapan dilakukan via internet, ternyata terjadi suatu hal yang mengejutkan.

Percakapan dimulai dengan kekhawatiran teman tentang dampak sebuah rencana pembangunan yang akan segera dilakukan di daerahnya. Dengan pengetahuan yang masih sangat terbatas, vitri menanggapi dengan serius bahwa segala sesuatu harus dilakukan dengan benar, artinya harus dengan asas transparansi. Karena apapun itu harus disadari semua pihak, agar siap jika dampak yang mungkin terjadi pada akhirnya terjadi. (walah.. bahasa yang membingungkan. bolak balik ajah..)

Nah, dari percakapan tersebut, akhirnya vitri juga mengeluarkan uneg-uneg (apa ya bahasa Indonesianya? hmm.. keluh kesah nih). Vitri gemes juga melihat perkembangan bangsa yang makin hari makin mengkhawatirkan. Ga usah dibahaslah apa hal-hal tersebut. Cukup banyak-banyak baca koran, lihat tivi dan dengarin radio. khususnya berita yang berkaitan dengan kehidupan berkebangsaan deh.

Nah.. kemudian, dengan semangat untuk sama-sama berjuang memperbaiki kondisi bangsa dengan penuh semangat, Andi, si teman ini mengajukan usul bahwa perbaikan bisa dilakukan jika duduk di posisi penentu kebijakan. Nah, vitri nyamber deh, minta dukungan dari kawasan Timur Indonesia jika suatu saat vitri mengajukan diri jadi Capres Indonesia. Dan tahukah apa yang kemudian terjadi? Andi langsung melancarkan negosiasinya untuk melancarkan jalan jika dirinya dipasangkan sebagai Cawapres Indonesia. Cepat dan cerdik. hehehehe...

Wow..  tawaran menarik.

Akhirnya deklarasi pun terucap. Berjuang bersama, dengan dunianya masing-masing, walau dengan jarak yang jauh (si teman ini berada di Makasar sedangkan vitri kan warga Pekanbaru), untuk bertemu dan berjuang bersama sebagai Capres dan Cawapres 2024

Tanpa banyak basa-basi, tanpa pengumpulan massa politik (karena memang tidak punya), maka janji itupun diucapkan. Hal baik tidak perlu ditunda lebih lama. Yang penting berikutnya adalah bagaimana menjaga komitmen terhadap diri sendiri dan koalisi ini.

Tantangan pasti besar dan godaan sepanjang jalan selama 15 tahun mendatang juga pasti tak sedikit. Namun.. dimulai dari sekarang, dengan keteguhan hati, dengan restu Yang Maha Menguasai Segalanya, serta dengan dukungan ANDA SEKALIAN yang membaca posting ini, KENAPA TIDAK???

Hanya saya, Andi dan Allah yang tahu apakah koalisi ini akan langgeng hingga sampai waktunya kami maju ke pencalonan. 

Namun... ANDA juga akan dapat menentukan apakah KAMI akan dapat menduduki posisi penting dan berbeban sangat berat itu pada masanya nanti. 

Mumpung masih berpengalaman nol, bermassa nol dan target pencalonan yang masih cukup panjang, kami memiliki cukup waktu untuk saling memahami dan membangun koalisi yang dewasa dan solid.

Ikuti terus ya bagaimana deklarasi komitmen menuju INDONESIA LEBIH BAIK ini kami jalankan mulai sekarang.. Dan jangan sungkan ikut beri dukungan, pertanyaan, saran, atau apapun yang sekiranya dapat diberikan (maksudnya? hehehehe...)

Mobil Dinas lebih penting dari pada Pengembangan SDM?

Membaca berita tentang pengadaan mobil dinas untuk Ketua DPRD Prop Riau benar-benar membuatku geleng-geleng kepala.

Berita pertama menceritakan bahwa Ketua DPRD yang baru akan mendapatkan sebuah mobil mewah seharga 1,8 M. Melebihi anggaran pengembangan SDM yang 1,2 M. Dan walaupun kemudian di berita kedua diralat bahwa harga mobilnya cuma Rp. 1,6 M, teteeep kan lebih besar tuh dari anggaran pengembangan SDM-nya. Tambah lagi bayangan biaya pemeliharaan yang tentunya tidak sedikit. Kira-kira itu dana dari mana? tentunya dari negara yang notebene juga uang seluruh rakyat yang dikumpul-kumpul lewat yang namanya pajak, retribusi, iuran, dst..dst..  Wedewwww.... gemes banget jadinya.

Vitri setuju banget tuh dengan pendapatnya pengamat politik dari Universitas Riau, Andi Yusran, yang mengatakan bahwa seharusnya bisa ada penghematan besar-besaran. Selain itu juga perlu adanya ketentuan yang jelas mengenai status mobil dinas yang dikuasakan pada pada Anggota Dewan yang Terhormat tersebut.

Diluar alasan bahwa mobil dinas ini diperlukan untuk mengganti mobil dinas sebelumnya yang sudah berusia 10 tahun, pertanyaan besarnya adalah apakah harus yang seharga itu? Terus terang deh, dengan mobil seperti itu  yang bukan mobil segala medan yang ga takut kegores, apa bisa dibawa ke medan tempur mengunjungi para konstituen di daerah? (jangan-jangan ntar sopirnya jadi galak pisan kalo ada yg ga sengaja nyenggol tuh mobil karena bakal disuruh ganti rugi ama yang dikasih mobil. ribettttt). Lha terus kalo mau kunjungan ke daerah masih nambah biaya untuk sewa kendaraan segala medan, wedewwwww...

Gemesss... gregetan... rasanya harus berbuat sesuatu nih.. Ada yang bisa ngasih saran???

Rabu, 21 Oktober 2009

Oleh-oleh Ikutan Workshop

Hari ini ikut Workshop tentang pengembangan kelembagaan penataan ruang setelah terbitnya UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007.

Workshop yang merupakan kerja sama ITB (SAPPK) dengan Dirjen Penataan Ruang - PU ini sepertinya benar-benar mendadak. Kenapa bisa berpendapat seperti itu? Yaah.. selain karena beberapa pembicara memang menyebutkannya (hehehe), undangan yang baru diterima semalem (abis magrib dan lewat sms dari temen), sedikitnya peserta yang hadir turut memperkuat dugaan tadi. (tapi tentang minimnya peserta ini apakah mungkin karena tidak tertarik akan temanya? kalo memang ini yang terjadi maka... GAWAT!!!)

Sudahlah.. cukup tentang kesan awal.

Secara keseluruhan, bahasan tentang kelembagaan ini menarik karena berkaitan dengan bagaimana penyelenggaraan tata ruang di Indonesia akan dilaksanakan, baik dari sisi pelaku maupun organisasi yang menjadi wadah penyambung aspirasi semua stakeholder (ngingetin: kalo ada istilah yg rada aneh/ajaib/ga biasa, harap cari di google ^ ^ )

Yang menjadi menarik (paling engga menurutku) adalah membayangkan para pemikir dan pelaku kebijakan yang sudah "tobat" (ga mau lengkap2 karena nanti dikira memplagiat Pak Purnomo Sidhi) berjuang, berjumpalitan (nah ini lebayyy) untuk menyadarkan sisa stakeholder (yang ternyata sisa ini jauuuuh lebih besar jumlahnya daripada yang sadar) untuk ikut membenahi kelembagaan penataan ruang. 

Paling engga, ada beberapa hal yang kujadikan catetan:

1. Perencanaan tata ruang itu butuh informasi yang lengkap dan dapat dipertanggunjawabkan keabsahan sumber dan materinya. Pemahaman mengenai hal ini seharusnya benar-benar harus dipegang oleh semua pihak, tidak hanya ketika di bangku kuliah atau di kursus-kursus JFP (jabatan fungsional perencana).  Kalo pemahaman sudah, kan berikutnya tinggal kesadaran. Ingat bahwa modal dasar pembangunan itu salah satunya adal SDMM - Sumber Daya Manusia dan Mentalitas (pinjem istilahnya ya Vie)

2. Koordinasi sebagai hal pokok dalam menyukseskan operasional penyelenggaraan penataan ruang harus diperbaiki. Perlu ada aturan yang jelas mengenai lintas urusan serta wewenang hingga pedoman tingkatan peraturan yang berkaitan dengan perencanaan-pemanfaatan-pengendalian ruang. Kebayang ga sih satu petak tanah bisa bikin ribut karena aturan yang mengenainya bertubi-tubi bin bersilang alias ga satu suara? Ayo dong.. para sektoral manager.. jangan pake kaca mata kuda.. banyak yg cantik tuh di sekitar kita (duuh... koq melenceng nih)

3. Masyarakat sebagai partner aktif penyelenggaraan tata ruang perlu dijelaskan juga bagaimana caranya berpartisipasi. Kapan bisa langsung berpartisipasi dan kapan harus pasrah dengan wakil-wakil yang telah dipilih langsung (jadi inget nih.. untuk menggalang sosialisasi anti "beli kucing dalam karung" bagi wakil rakyat -- paling engga untuk pemilu berikutnya. atau ide lainnya adalah memasukkan mata kuliah "menuju panggung gemerlap" di sekolah PWK supaya planner juga bisa jadi artis -- jadi selanjutnya memudahkan jalan menuju senayan sebagai representasi rakyat, bukan hanya sebagai staf ahli wakil rakyat. hehehe)

4. Kelembagaan penataan ruang membutuhkan waktu untuk lengkap dan kuat, tapi walau begitu pergerakan untuk memulai perubahan ke arah yang lebih baik HARUS dimulai SAAT INI JUGA. Istilahnya Pak Id (bener ga sih panggilannya? Kalo salah, maaf ya Pak) : buat perahu sambil berlayar.. jadi begitu rakit udah terbuat lgs deh sauh diangkat (hmm rakit pake sauh juga ga sih?). Jadi dengan apa yang kita miliki sekarang ayo melangkah. Lengkapi dan perkuat sembari berjalan. (jadi inget kata2nya Dian-temen kuliah nih- perubahan butuh 50 tahun. yaah.. kalo gitu ya harus dimulai sekarang ya..)

Yah.. sebenarnya banyak lagi sih hal-hal yang dapat dijadikan catetan. Tapi sudahlah. Empat ini saja belum tentu hapal dan bisa kejadian dalam tempo sesingkat-singkatnya koq.

So.. ini deh oleh-oleh hari ini. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa ikut acara serupa sehingga bisa dapet oleh-oleh lagi..

Sabtu, 14 Maret 2009

bangun dini hari

Wah... bener-bener ga terencana nih

Tertidur setelah membaca waktu sore-sore kemudian bangun ketika bapak-bapak yang sedang ronda memukul tiang listrik, mengabarkan jam 1 pagi.

Bangun dengan kondisi disorientasi dan badan pegel (tidurnya ga pake persiapan sih)

Ga tau mau ngapain, iseng buka tagged.com chat room
Dan seperti biasa, ada saja yang masih online dan ngobrol ga jelas arah dan tujuannya...

Beberapa kali ikut nambahin komentar yang juga ga jelas, akhirnya aku juga mengundurkan diri.
Lha memang diriku lagi belum benar-benar "ngeh" mau ngapain.

Sekilas pandang ngeliat brosur Dep.PU tentang sanitasi masyarakat dan rusunawa..
Wadooh.... pagi-pagi ngurusin permukiman, hahahaha....
Trus telinga nangkep kata-kata penyiar radio yang mengiklankan acara dialog tentang manouver politik partai Golkar dan JK menjelang pemilu bulan depan. Bener-bener kehidupan yang tidak begitu kumengerti (atau malas untuk mengerti. Bagi generasi muda: jangan ditiru sifat apatis ini ya)

Apa lagi ya? mau ngobrol, temen-temen tentunya sudah pada tidur nyenyak di pembaringan masing-masing. Mau baca laporan faknal kota Garut.... belum bisa fokus.

Bangun dini hari.....
Tak selamanya bisa bermanfaat...
Apalagi karena tak direncanakan...

Kamis, 12 Maret 2009

jalan-jalan penghilang suntuk

Sudah lama juga ya ga posting..
Jadi kangen juga, hehehe...

Walau banyak cerita, mungkin baiknya tetap aja harus dipilah-pilah.
Kali ini tentang jalan-jalan tiap kali ada kesempatan.

Kuliah di semester dua bukannya ringan dan bahkan mungkin malah lebih berat karena sudah ada mata kuliah studio yang mengharuskan kita berpraktek ria dalam perencanaan suatu kawasan yang menjadi objek studi. Selain itu masih ada beberapa mata kuliah yang tetap diikuti dengan tingkat kesulitannya masing-masing. Studio yang terkadang menjadi momok tersendiri di kalangan mahasiswa planologi membuat "suntuk mode on" jadi lebih sering terjadi. Yang ga bisa mikir atau sekedar kesal dengan kondisi yang kurang kondusif ketika berdiskusi cukup membuat aku butuh pelarian.

Untung sekali bahwa ada saja kesempatan untuk jalan-jalan, keluar dari keseharian kuliah dan berpikir terfokus di ruang studio. Terhitung sejak semester dua ini (pertengah bulan Januari hingga hampir pertengahan bulan Maret 2009), banyak tempat yang kukunjungi. Sebut aja Tangkuban Perahu, Wana Wisata Jayagiri, Garut (sekalian dengan survei studio), Padasuka ujung (Moko), Kawah Putih, Sariater (mandi air panas aja). Selain itu, jalan-jalan dalam kota Bandung juga tentu tak dilupakan, namun mungkin memang tidak selengkap yang seharusnya.
Gile kan, 6 bulan di Bandung tapi masih ga hapal juga jalan2 Bandung. Anak plano neh. Apa kata dunia??? hehehe...

Segitu banyak yang dikunjungi, satu hal pasti yang diinginkan. FRESH AIR ... alias udara segar...
Udara segar tak hanya bagus buat paru-paru tapi juga hati, lho.. Kalo badannya ga seger, ga mungkin lho hatinya ikut terkontaminasi jadi ga seger juga. Jadi mudah marah, murung atau malah bunuh diri. Hiiiiii!!!!!!!!

Karena aku termasuk yang seneng jalan-jalan (terutama emang jalan kaki), pengennya sih ya ketemu daerah yang nyaman buat berjalan kaki. Mulai dari tempat kaki berpijak sampai pada pemandangan kanan kiri depan (belakang sih engga deh... lha kan aku jalannya maju, ga mundur) dan yang pasti ya udara yang relatif bersih dan seger..

Bandung, satu kritik buatmu, sebenarnya kota yang menyenangkan untuk dinikmati dengan berjalan kaki. Banyak situs (bukan situ ya..) yang baru dapat terlihat jelas dan berkesan saat kita jalan kaki. Namun apa daya.. sekarang jalan sudah penuh kendaraan. trotoar alias pedestrian makin sempit. tak hanya karena memang lebarnya terbatas, tapi pejalan kaki masih harus "rebutan lahan" dengan pedagang kaki lima..

Tapi walaupun demikian.... jalan-jalan must be go on, friend.. Karena jalan-jalan ini memang bisa banget buat menghilangkan suntuk. Ga percaya, kapan-kapan ikutan yuk, jalan-jalan di seputaran Gedung Sate atau BEC atau yang menjadi spot yang paling dicari, Braga dan sekitarnya. Cuma ya harus siap-siap. Pake alas kaki yang nyaman, pake pelindung dari paparan matahari (kalau jalannya siang hari), boleh juga bawa jas hujan atau payung (mana tau mau menikmati jalan-jalan di kala hujan) dan juga tentunya jangan lupa kamera... Narcis juga harus tetap dipupuk, hahahaha.....

So, begitu dulu ah ceritanya. Berikutnya mudah-mudahan sudah bisa ngasih cerita menarik dari pengalaman jalan-jalan yang sudah dan akan terus dilakukan..

Senin, 19 Januari 2009

Tenaga Kerja dan Perusahaan

Obrolan ini mungkin sekedar hal yang muncul dikepalaku
Bukan hasil analisis yang mendalam, tapi hanya pemikiran bebas

Pemikiran tentang tenaga kerja dan perusahaan ini muncul saat minggu lalu aku menemani papa ke Kecamatan Pinggir, sebelum Kota Duri. Menemani di sini bukan menemani si papa menghadiri acara, tapi sekedar menemani selama perjalanan pulang pergi dari Pekanbaru.

Saat itu hari Kamis, tanggal 15 Januari 2009. Papa punya agenda mendampingi serikat pekerja perkebunan PT ADEI yang sedang bermasalah dengan manajemen perusahaan.
Sebagai orang yang tidak terlibat langsung dan baru tau masalah ini saat itu, aku ya tidak berani memberi komentar terlalu banyak selain hanya mengamati peristiwa yang terjadi di depanku.

Dari yang kudengar dan kubaca, tenaga kerja PT. ADEI telah melakukan mogok kerja karena keinginannya untuk berunding masalah perubahan status tenaga kerja dari tenaga kontrak menjadi tenaga tetap tidak diindahkan oleh perusahaan. Sementara dari pihak perusahaan merasa bahwa tindakan tenaga kerja yang melakukan mogok tidak sah karena tidak memiliki unsur gagal perundingan. Akibatnya setelah memberi 3 "surat himbauan", perusahaan menganggap tenaga kerja yang mogok (lebih dari 300 tenaga kerja) telah mengundurkan diri. Karenanya, ketentuan pesangon karena PHK tidak dapat diberikan. Ironisnya, upah sampai dengan waktu sebelum mogok tak juga dibayarkan dengan alasan akan dibayarkan sekalian dengan hak-hak lain yang berkenaan dengan status pengunduran diri tenaga kerja.

Satu hal yang mengusikku adalah bagaimana hubungan perusahaan dan tenaga kerja yang sepertinya salah kaprah. Aku melihat bahwa di sini perusahaan melihat dirinya sebagai pihak yang berjasa karena telah mempekerjakan sejumlah tenaga kerja. Dan karena tenaga kerja tidak mengikuti aturan main (tidak jelas aturan main siapa, sepertinya aturan main perusahaan), maka perusahaan dengan mudahnya melepaskan mereka. Bukankah perusahaan seharusnya melihat bahwa keberadaan tenaga kerja sebagai aset perusahaan, bagian dari keluarga besar yang harus dirangkul dan diajak maju bersama? Arogansi perusahaan dalam menyikapi permintaan tenaga kerja sangat ironis dengan aturan-aturan yang telah dibuat untuk kesejahteraan tenaga kerja. Usia kerja yang lebih dari 5 tahun dianggap tidak ada sehingga dengan mudahnya menganggap tenaga kerja ini tidak penting. Apakah perusahaan tidak memikirkan bahwa tidaklah mudah mendapatkan tenaga kerja dengan pengalaman yang dimiliki oleh tenaga kerja yang telah dimilikinya? Lalu pengelakan perundingan yang kemudian dianggap tidak ada perundingan (menurut perusahaan artinya tidak ada istilah gagal perundingan) sehingga kemudian dapat menetapkan status mengundurkan diri, bukannya pemutusan hubungan kerja, rasanya menjadi upaya perusahaan untuk mengurangi pengeluaran yang dikeluarkan demi "mengusir" tenaga kerja.

Sangat disayangkan kalau hal ini kemudian tidak diselesaikan secara baik. Bukan hanya berarti perusahaan hanya mementingkan diri sendiri, tapi akibatnya juga akan mempengaruhi kondisi kesejahteraan dan keamanan wilayah tempat perusahaan itu berada. Coba dibayangkan, dengan tidak bekerjanya 300 tenaga kerja artinya ada 300 penganggur baru di satu wilayah. Ada 300 keluarga yang tidak akan mendapatkan penghasilan layak bagi kehidupannya. Misalkan saja tiap keluarga baru memiliki 1 orang anak usia sekolah, maka ada 300 anak yang terancam putus sekolah. Hal ini tentu saja akan sangat disayangkan. Dan sementara itu, perusahaan juga akan kehilangan 300 tenaga kerja yang berpengalaman. Proses perekrutan tenaga kerja baru tidak hanya sulit tapi juga melelahkan karena tidaklah mudah mendapatkan tenaga kerja yang bersedia bekerja di suatu kebun dengan kecakapan yang sama dan dengan ancaman mendapatkan perlakukan serupa beberapa tahun kemudian.

Satu hal yang kukagumi dari para pekerja adalah kemampuan mereka menahan diri untuk tidak bertindak anarkis. Tapi berapa lama mereka akan bertahan jika upah mereka tidak dibayarkan dan status mereka juga tak jelas?

Sudah sepantasnya tiap pihak yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan turut memikirkan, bagaimana sebaiknya hubungan tenaga kerja dan perusahaan tempatnya bekerja.