Minggu, 23 Maret 2014

Kekuatan Cinta


Hanya cerita. Yang muncul di kepala..

Alkisah di sebuah kegiatan kelompok pengajian perempuan, sang pemimpin (guru) memberikan pertanyaan pada para anggota (murid)nya.

Diantara pilihan laki-laki ini, mana yang baik untukmu?
Pertama, (a) yang beragama atau (b) yang tidak beragama
Kedua, (a) yang memiliki harta (b) yang tidak tidak memiliki harta
Ketiga, (a) yang selalu baik perilakunya atau (b) yang buruk perilakunya

Para murid yang jumlahnya tak lebih dari 10 orang itu menuliskan jawabannya di atas sebuah kertas lalu menyerahkan kepada sang guru. Sembilan memilih (a) untuk ketiga pilihan lelaki. Satu orang tidak memilih satupun, hanya menuliskan “semuanya baik, asal dia benar-benar mencintaiku”.

Sang guru sangat heran dengan jawaban yang sungguh berbeda ini. Maka ditanyakanlah pada si murid.
Guru    :     wahai murid, kenapa engkau tidak memilih salah satu dari pilihan yang ada?
Murid  :     saya tidak bisa memilih salah satu dari mereka, Guru.
Guru    :     Kenapa tidak bisa?
Murid  :     Karena saya tidak tahu apakah laki-laki itu mencintai saya dengan sebenar-benarnya.
Guru  :     Apakah artinya jika seorang laki-laki mencintaimu, engkau akan menganggap dia baik bagimu walau dia tidak beragama, tidak berharta, dan buruk perilakunya?
Murid  :     Hanya jika laki-laki itu benar-benar mencintai saya, maka benar, Guru.

Murid-murid yang lain mulai berbisik-bisik. Sang Guru tersenyum dan meminta murid-muridnya untuk tenang. Lalu ia kembali bertanya,

“Wahai murid, coba jelaskan maksudmu. Kami ingin sekali mendengarkan alasan jawabanmu yang sangat tidak biasa ini.”

Lalu sang murid pun menjelaskan
“Saat seorang laki-laki datang padaku dan ia mencintaiku dengan sebenar-benarnya dan dengan sungguh-sungguh, maka ia akan berusaha membuatku bahagia, apapun caranya. Saat ia melihatku menjalankan ibadahku dengan baik dan tekun. Saat ia mendengarkan doaku untuk mendapatkan seseorang yang dapat kuajak beribadah dan memuji Tuhan bersama, ia yang tidak beragama akan berusaha mencari tahu apa agama yang kuanut. Saat itulah, aku akan membuatnya melihat dan mengalami indahnya agama dan ibadahku kepada Tuhan. Maka saat itu ia akan beragama. 

“Lalu saat seorang laki-laki datang padaku tanpa harta sebutir pasir pun namun ia mencintaiku dengan sebenar-benarnya dan dengan sungguh-sungguh, maka ia akan berusaha membuatku bahagia. Ketika dilihatnya aku membutuhkan harta untuk mencukupkan hidup di dunia tanpa berkelebihan tak berguna, ia akan mencari cara untuk mencari dan mengumpulkan harta untukku. Maka saat itu dia akan berharta.

“Lalu saat seorang laki-laki datang padaku dengan perilaku buruk namun ia mencintaiku dengan sebenar-benarnya dan dengan sungguh-sungguh, maka ia akan berusaha membuatku bahagia. Ketika dilihatnya aku membutuhkan senyum, dan tutur kata yang sopan serta penuh kasih kepada semua makhluk, maka ia akan berusaha mengubah perilakunya untuk melihat cahaya di mataku ketika memandangnya. Maka saat itu ia akan berperilaku baik.”

Sang Guru terdiam, terkesima mendengar penjelasan sang murid. Tapi ia masih penasaran. Maka kembali ia bertanya,

Guru   :     Wahai murid. Sungguh indah penjelasanmu. Namun jika engkau begitu percaya pada cinta, apakah engkau akan merasa sedih saat ada seorang laki-laki yang beragama, berharta serta berperilaku baik namun tidak mencintaimu?

Murid :     Wahai guruku, aku akan sedih saat laki-laki, apapun agamanya, berapapun hartanya, dan sebagaimanapun perilakunya, mengatakan mencintaiku namun tidak sungguh-sungguh.


 Pekanbaru, 23 Maret 2014. 13.39


Sabtu, 22 Maret 2014

Megawati-Sukarno-Jokowi dan Saya




Agak susah menilai sosok Megawati. Entah apa yg ada di dalam pikirannya. Sayang saya tak pernah benar-benar mencari tahu soal beliau. Namun tampaknya sama halnya dengan menelisik isi pikiran Sukarno, ayahnya. Di kala dunia mengecam komunisme, beliau malah menyatukannya dalam suatu paham NASAKOM. Kalo sekarang ini beliau ngomong begitu, tak terbayang reaksi yg muncul di berbagai medsos. Lihatlah wanita2 yang dipilih menjadi pasangan atau dikaguminya. Semuanya dengan latar belakang berbeda-beda namun cinta pada negara yang sangat indah ini. Dan lihatlah hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya. 

Tak semua sepaham dengannya, tapi tak menghalanginya untuk terus menjalin tali silaturahim. Karenanya ia tak rela anak bangsa terkotak-kotak dan terpecah. Kata salah satu guru saya, Sukarno adalah seorang nasionalis idealis. Ia sangat mencintai INDONESIA. Ia sangat mencintai BANGSA dan RAKYATnya. Ia membanggakan kebhinekaan yang ada karena ia pun lahir dari banyak budaya. 

Saya mungkin subjektif karena tulisan beliau adalah yang saya baca pertama kali. Saya bisa jadi tersihir karena suara pidatonya yang lantang yang sering diulang-ulang di telinga saya sewaktu kecil. Tapi menurut saya, beliau adalah panutan yang saya pegang dalam mencintai negeri tempat saya lahir, dibesarkan, dan mudah2an mati nanti.

Lalu Jokowi. Orang “biasa” yang tiba2 jadi fenomenal. Tak kenal langsung dan belum sempat membaca pengakuannya tentang perjalan hidup sehingga tak juga bisa banyak tahu isi pikirannya. Tapi yang ditangkap dari apa yang dilihat melalui media. Ekspresi wajahnya menunjukkan kesungguhan akan sesuatu. Lelah namun tak mau menyerah. Subjektif? Mungkin. Tapi biarlah

Sukarno-Megawati-Jokowi. Apapun isi kepala mereka, saya yakin ketiganya sangat CINTA pada INDONESIA.  

Pekanbaru, 22 Maret. Lagi2 di ruang makan rumah mama, 20.34 WIB

Kamis, 20 Maret 2014

Jokowi Nyapres? Ini Opini Saya!



Beberapa hari terakhir ini, salah satu pemberitaan utama di negeri kepulauan nan makmur namun masih keliru urus ini adalah tentang peristiwa pencalonan Joko Widodo sebagai calon presiden dari Parta PDI-Perjuangan. Setelah berbulan-bulan isu ini menjadi makanan anak-anak negeri yang suka celoteh di media sosial (yang pastinya juga tentang politik), akhirnya positif juga prediksi dan keinginan sebagian masyarakat Indonesia. Kenapa saya sebut sebagian? Karena reaksi terhadap pencalonan Gubernur DKI menjadi calon RI-1 ini juga langsung menuai protes dan pernyataan kecewa, bahkan juga celaan dan hinaan. Di tempat lainnya? Masih banyak juga rakyat Indonesia yang tak kenal tokoh fenomenal yang satu ini.

Pada awalnya, saya tidak begitu tertarik untuk menulis soal ini. Bukan apa-apa. Hanya sedang malas ngobrolin politik nasional dan saat itu Pekanbaru sedang disibukkan dengan #BencanaAsap dan gerakan #MelawanAsap-nya. Tapi setelah beberapa hari terakhir bisa bernafas agak lega dan mata pun membaca isu-isu lain yang muncul, pencalonan seorang Joko Widodo ternyata muncul nyaris disetiap klik dan halaman yang  dikunjungi. Dan ternyata di satu sisi terdapat dukungan dan pujian tentang pencalonan mantan Walikota Solo ini menjadi orang nomor satu di Indonesia, tak sedikit pula hujatan dan cercaan yang muncul. Pendusta dan ingkar janji adalah predikat yang paling sering disandingkan kepada pria berpenampilan sederhana ini. 

Bukan karena saya fans beliau atau bukan pula karena kasihan karena image yg muncul dari tubuhnya yang tidak gagah perkasa seperti superhero luar negeri yang berotot besar. Pendapat ini pendapat pribadi sebagai seorang yang menjalani hidup lebih dari satu dasawarsa di dalam sistem pemerintahan dan hasil penelusuran artikel-artikel berita yang ada di media online.

Dari Pengusaha hingga Menjadi Gubernur DKI
Jokowi awalnya dikenal sebagai pengusaha mebel. Namun karena “kebetulan” (sesuai pendapat beliau sendiri), jadilah Walikota Solo pada tahun 2005. Dianggap berhasil memimpin selama 5 (lima) tahun, Joko Widodo dan F.X. Hadi Rudyatmo pun terpilih kembali memimpin Solo untuk perionde 2010-2015. Namun ternyata kepemimpinan Joko Widodo tidak hingga akhir masa jabatan. Didorong oleh desakan banyak pihak serta dukungan dari sebagian besar masyarakat Solo sendiri, pria lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada ini maju sebagai calon Gubernur DKI pada Pilgub Tahun 2012 dan berhasil meraih kemenangan bersama-sama dengan Basuki T Purnama (sering disapa dengan panggilan Ahok). Sejak terpilihnya duo dinamis ini, sudah bermacam hal yang dilakukan. Macet dan banjir Jakarta serta “bobrok”nya birokrasi menjadi tantangan sekaligus tugas besar bagi keduanya. 

Pecinta dan Pembenci Jokowi
Sejak munculnya Jokowi dalam percaturan politik Indonesia, terutama setelah menjabat sebagai Gubernur Ibu Kota Negara tercinta ini, terlihat dua kubu pro dan kontra. Cinta dan benci. Yang pro dan cinta tampaknya sudah muncul sejak beliau memimpin salah satu kota di Jawa Tengah dan menguat saat Pilgub DKI 2012. Kelompok ini mengklaim bahwa Jokowi adalah jawaban paling tepat untuk Indonesia dengan gaya kepemimpinan yang segar, sederhana dan apa adanya. Dari berbagai pecinta/pendukung Jokowi, ada kelompok yang mau bertindak apa saja jika ada orang atau kelompok yang “menyerang” idolanya. Di satu sisi keberadaan pecinta ini cukup menarik karena cukup kreatif dalam menampilkan dukungannya kepada Jokowi. Tapi di sisi lain, agak mengkhawatirkan jika kemudian menjadi cinta buta, tidak mau menerima kritik terhadap Jokowi. Yang terakhir ini biasanya merupakan kelompok pecinta “figur” Jokowi. 

Kelompok kontra dan benci Jokowi tidak kalah seru sepak terjangnya. Setiap aktivitas Jokowi ditanggapi dari sisi negatif. Walau sama beragamnya dengan kelompok yang pro, kelompok benci Jokowi lebih terlihat bertujuan untuk merebut simpati rakyat atau yang tidak puas dengan kinerja yang telah dilakukan oleh pria yang sudah memimpin DKI Jakarta selama hampir 2 tahun.  

Pencalonan Jokowi sebagai Capres 
Jokowi makin sering jadi bahan kontroversi saat beliau menerima pencalonan dirinya sebagai calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan untuk maju ke pesta demokrasi tahun 2014 ini. Sejak Jokowi menerima mandat dari Ketua Umum PDI-Perjuangan, Megawati Sukarno Putri, pada Hari Jumat tanggal 14 Maret 2014, dukungan dan cercaan pun bermunculan. Beberapa kelompok menyayangkan dan mengancam untuk menggugat keputusan Jokowi untuk maju menjadi peserta pesta demokrasi sebagai calon presiden. Beliau dianggap plin-plan dan ingkar janji terhadap warga Jakarta. 

Jokowi Nyapres? Ini Pendapat Saya
Seseorang (atau mungkin semua orang) pasti punya ambisi. Minimal punya visi atau mimpi. Jika tidak? Coba deh evaluasi diri lalu revisi. 

Soal menjadi orang nomer satu di Indonesia bukan impian sedikit orang. Saya pun (pernah) punya mimpi ini. Tak percaya? Coba cek posting lama saya. Tapi kemudian saya cukup sadar diri bahwa modal masih sangat-sangat minim. Bukan hanya soal materi untuk biayai kampanye, sosialisasi dan mobilisasi massa, tapi kesiapan mental dan kemampuan komunikasi dan manajerial. Kenapa modal non material ini menjadi halangan atau hambatan bagi saya? Karena inilah yang paling penting. Seorang (calon) pemimpin harus kuat menghadapi arus deras sistem dan pengaruh dari berbagai kepentingan. Harus kuat menghadapi hujatan (tidak cepat marah atau merajuk) dan pujian (tidak jumawa atau sombong diri). Harus cepat belajar karena tidak ada orang yang tahu dan bisa segalanya. Dengan menjadi pemimpin, seseorang harus bisa dengan segera memetakan wilayah kerjanya. Mana yang kuat, lemah, peluang dan tantangan (analisis SWOT bahasa kerennya). Dan pemimpin itu harus berani memutuskan serta bertanggung jawab dengan keputusannya. Satu keputusan itu akan berpengaruh pada banyak orang (bawahan, keluarga, lingkungan, rakyat dan negara). 

Selain kesiapan diatas, calon pemimpin juga membutuhkan moment atau kesempatan. Dan menurut saya, Jokowi memiliki kesempatan ini. Mungkin beberapa orang mengatakan “bejo”. Benar kata iklan salah satu produk jamu modern, pintar itu kalah dengan bejo. Saya sangat setuju. Orang pintar itu bisa diasah. Tapi keberuntungan dan kesigapan menggunakannya? Tak semua orang sadar untuk melakukannya. Ini menjawab pertanyaan “Kenapa tidak menunggu periode Pemilu berikutnya, setelah penuh menjalankan tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta?” Karena inilah kesempatannya. Periode mendatang bisa jadi moment-nya sudah hilang. 

Lalu pertanyaan yang tidak kalah penting. Kenapa harus menjadi RI-1? Menurut pengamatan dan pengalaman pribadi, pengelolaan pembangunan itu adalah sebuah sistem yang sangat besar dan rumit. Semuanya saling terhubung dan memiliki tingkat hubungan yang berbeda-beda antar satu sektor dengan sektor yang lain, antar satu tingkatan hirarki dengan tingkatan hirarki yang lain. Tanpa harus menjadi kuliah umum, pada intinya untuk membuat sistem bekerja baik perlu manajer yang baik. Di Indonesia dengan sistem desentralisasi dan pembagian wewenang dan tugas pusat-daerah, sistem ini semakin ruwet. Belum lagi masalah tumpang tindih aturan atau bahkan aturan yang saling meniadakan. Contoh paling riil adalah masalah penanganan banjir dan macet Jakarta. Tidak bisa hanya bicara soal Jakarta karena yang mempengaruhi lebih besar dari Jakarta. Tidak hanya harus mengendalikan air dan kendaraan di Jakarta namun juga sistem tata air yang lebih luas dan tata niaga kendaraan di Indonesia. Jadi, saya mulai paham kenapa Jokowi “patuh” pada “titah” Ketua Umumnya. Karena dalam kepatuhan itu, Jokowi melihat momen untuk dapat membuat sistem bekerja lebih baik dan lebih cepat lagi. Paling tidak ini yang saya pikirkan jika saya berada di posisi beliau. Jadi, beginilah pendapat saya tentang isu yang masih akan terus santer diberitakan hingga terpilihnya Presiden Indonesia 2014-2019.

Awalnya saya pun tidak setuju Jokowi nyapres. Kasihan Jakarta. Tapi sekarang? Nyapres dong Pak. Biar yang setipe dan yang lebih baik dari Pak Jokowi makin banyak yang muncul ke permukaan untuk jadi pemimpin-pemimpin baru di Indonesia Raya. 

#SaveIndonesia

Pekanbaru, ruang tipi rumah mama, 20 Maret 2014 - 0.16 WIB