Beberapa hari terakhir ini, salah
satu pemberitaan utama di negeri kepulauan nan makmur namun masih keliru urus
ini adalah tentang peristiwa pencalonan Joko Widodo sebagai calon presiden dari
Parta PDI-Perjuangan. Setelah berbulan-bulan isu ini menjadi makanan anak-anak
negeri yang suka celoteh di media sosial (yang pastinya juga tentang politik),
akhirnya positif juga prediksi dan keinginan sebagian masyarakat Indonesia.
Kenapa saya sebut sebagian? Karena reaksi terhadap pencalonan Gubernur DKI
menjadi calon RI-1 ini juga langsung menuai protes dan pernyataan kecewa,
bahkan juga celaan dan hinaan. Di tempat lainnya? Masih banyak juga rakyat
Indonesia yang tak kenal tokoh fenomenal yang satu ini.
Pada awalnya, saya tidak begitu
tertarik untuk menulis soal ini. Bukan apa-apa. Hanya sedang malas ngobrolin
politik nasional dan saat itu Pekanbaru sedang disibukkan dengan #BencanaAsap
dan gerakan #MelawanAsap-nya. Tapi setelah beberapa hari terakhir bisa bernafas
agak lega dan mata pun membaca isu-isu lain yang muncul, pencalonan seorang
Joko Widodo ternyata muncul nyaris disetiap klik dan halaman yang dikunjungi. Dan ternyata di satu sisi
terdapat dukungan dan pujian tentang pencalonan mantan Walikota Solo ini
menjadi orang nomor satu di Indonesia, tak sedikit pula hujatan dan cercaan
yang muncul. Pendusta dan ingkar janji adalah predikat yang paling sering
disandingkan kepada pria berpenampilan sederhana ini.
Bukan karena saya fans beliau
atau bukan pula karena kasihan karena image
yg muncul dari tubuhnya yang tidak gagah perkasa seperti superhero luar negeri
yang berotot besar. Pendapat ini pendapat pribadi sebagai seorang yang
menjalani hidup lebih dari satu dasawarsa di dalam sistem pemerintahan dan
hasil penelusuran artikel-artikel berita yang ada di media online.
Dari Pengusaha hingga Menjadi Gubernur DKI
Jokowi awalnya dikenal sebagai
pengusaha mebel. Namun karena “kebetulan” (sesuai pendapat beliau sendiri),
jadilah Walikota Solo pada tahun 2005. Dianggap berhasil memimpin selama 5
(lima) tahun, Joko Widodo dan F.X. Hadi Rudyatmo pun terpilih kembali memimpin
Solo untuk perionde 2010-2015. Namun ternyata kepemimpinan Joko Widodo tidak
hingga akhir masa jabatan. Didorong oleh desakan banyak pihak serta dukungan
dari sebagian besar masyarakat Solo sendiri, pria lulusan Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada ini maju sebagai calon Gubernur DKI pada Pilgub Tahun
2012 dan berhasil meraih kemenangan bersama-sama dengan Basuki T Purnama
(sering disapa dengan panggilan Ahok). Sejak terpilihnya duo dinamis ini, sudah
bermacam hal yang dilakukan. Macet dan banjir Jakarta serta “bobrok”nya
birokrasi menjadi tantangan sekaligus tugas besar bagi keduanya.
Pecinta dan Pembenci Jokowi
Sejak munculnya Jokowi dalam
percaturan politik Indonesia, terutama setelah menjabat sebagai Gubernur Ibu
Kota Negara tercinta ini, terlihat dua kubu pro dan kontra. Cinta dan benci.
Yang pro dan cinta tampaknya sudah muncul sejak beliau memimpin salah satu kota
di Jawa Tengah dan menguat saat Pilgub DKI 2012. Kelompok ini mengklaim bahwa
Jokowi adalah jawaban paling tepat untuk Indonesia dengan gaya kepemimpinan
yang segar, sederhana dan apa adanya. Dari berbagai pecinta/pendukung Jokowi,
ada kelompok yang mau bertindak apa saja jika ada orang atau kelompok yang
“menyerang” idolanya. Di satu sisi keberadaan pecinta ini cukup menarik karena
cukup kreatif dalam menampilkan dukungannya kepada Jokowi. Tapi di sisi lain,
agak mengkhawatirkan jika kemudian menjadi cinta buta, tidak mau menerima
kritik terhadap Jokowi. Yang terakhir ini biasanya merupakan kelompok pecinta
“figur” Jokowi.
Kelompok kontra dan benci Jokowi
tidak kalah seru sepak terjangnya. Setiap aktivitas Jokowi ditanggapi dari sisi
negatif. Walau sama beragamnya dengan kelompok yang pro, kelompok benci Jokowi
lebih terlihat bertujuan untuk merebut simpati rakyat atau yang tidak puas
dengan kinerja yang telah dilakukan oleh pria yang sudah memimpin DKI Jakarta
selama hampir 2 tahun.
Pencalonan
Jokowi sebagai Capres
Jokowi makin sering jadi bahan
kontroversi saat beliau menerima pencalonan dirinya sebagai calon presiden dari
Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan untuk maju ke pesta demokrasi tahun
2014 ini. Sejak Jokowi menerima mandat dari Ketua Umum PDI-Perjuangan, Megawati
Sukarno Putri, pada Hari Jumat tanggal 14 Maret 2014, dukungan dan cercaan pun
bermunculan. Beberapa kelompok menyayangkan dan mengancam untuk menggugat
keputusan Jokowi untuk maju menjadi peserta pesta demokrasi sebagai calon
presiden. Beliau dianggap plin-plan dan ingkar janji terhadap warga Jakarta.
Jokowi Nyapres? Ini Pendapat Saya
Seseorang (atau mungkin semua
orang) pasti punya ambisi. Minimal punya visi atau mimpi. Jika tidak? Coba deh
evaluasi diri lalu revisi.
Soal menjadi orang nomer satu di
Indonesia bukan impian sedikit orang. Saya pun (pernah) punya mimpi ini. Tak
percaya? Coba cek posting lama saya. Tapi kemudian saya cukup sadar diri bahwa
modal masih sangat-sangat minim. Bukan hanya soal materi untuk biayai kampanye,
sosialisasi dan mobilisasi massa, tapi kesiapan mental dan kemampuan komunikasi
dan manajerial. Kenapa modal non material ini menjadi halangan atau hambatan
bagi saya? Karena inilah yang paling penting. Seorang (calon) pemimpin harus
kuat menghadapi arus deras sistem dan pengaruh dari berbagai kepentingan. Harus
kuat menghadapi hujatan (tidak cepat marah atau merajuk) dan pujian (tidak
jumawa atau sombong diri). Harus cepat belajar karena tidak ada orang yang tahu
dan bisa segalanya. Dengan menjadi pemimpin, seseorang harus bisa dengan segera
memetakan wilayah kerjanya. Mana yang kuat, lemah, peluang dan tantangan
(analisis SWOT bahasa kerennya). Dan pemimpin itu harus berani memutuskan serta
bertanggung jawab dengan keputusannya. Satu keputusan itu akan berpengaruh pada
banyak orang (bawahan, keluarga, lingkungan, rakyat dan negara).
Selain kesiapan diatas, calon
pemimpin juga membutuhkan moment atau
kesempatan. Dan menurut saya, Jokowi memiliki kesempatan ini. Mungkin beberapa
orang mengatakan “bejo”. Benar kata iklan salah satu produk jamu modern, pintar
itu kalah dengan bejo. Saya sangat setuju. Orang pintar itu bisa diasah. Tapi
keberuntungan dan kesigapan menggunakannya? Tak semua orang sadar untuk
melakukannya. Ini menjawab pertanyaan “Kenapa tidak menunggu periode Pemilu
berikutnya, setelah penuh menjalankan tugas sebagai Gubernur DKI Jakarta?”
Karena inilah kesempatannya. Periode mendatang bisa jadi moment-nya sudah
hilang.
Lalu pertanyaan yang tidak kalah
penting. Kenapa harus menjadi RI-1? Menurut pengamatan dan pengalaman pribadi,
pengelolaan pembangunan itu adalah sebuah sistem yang sangat besar dan rumit.
Semuanya saling terhubung dan memiliki tingkat hubungan yang berbeda-beda antar
satu sektor dengan sektor yang lain, antar satu tingkatan hirarki dengan
tingkatan hirarki yang lain. Tanpa harus menjadi kuliah umum, pada intinya
untuk membuat sistem bekerja baik perlu manajer yang baik. Di Indonesia dengan
sistem desentralisasi dan pembagian wewenang dan tugas pusat-daerah, sistem ini
semakin ruwet. Belum lagi masalah tumpang tindih aturan atau bahkan aturan yang
saling meniadakan. Contoh paling riil adalah masalah penanganan banjir dan macet
Jakarta. Tidak bisa hanya bicara soal Jakarta karena yang mempengaruhi lebih
besar dari Jakarta. Tidak hanya harus mengendalikan air dan kendaraan di
Jakarta namun juga sistem tata air yang lebih luas dan tata niaga kendaraan di
Indonesia. Jadi, saya mulai paham kenapa Jokowi “patuh” pada “titah” Ketua
Umumnya. Karena dalam kepatuhan itu, Jokowi melihat momen untuk dapat membuat
sistem bekerja lebih baik dan lebih cepat lagi. Paling tidak ini yang saya
pikirkan jika saya berada di posisi beliau. Jadi, beginilah pendapat saya
tentang isu yang masih akan terus santer diberitakan hingga terpilihnya
Presiden Indonesia 2014-2019.
Awalnya saya pun tidak setuju
Jokowi nyapres. Kasihan Jakarta. Tapi sekarang? Nyapres dong Pak. Biar yang
setipe dan yang lebih baik dari Pak Jokowi makin banyak yang muncul ke
permukaan untuk jadi pemimpin-pemimpin baru di Indonesia Raya.
#SaveIndonesia
2 komentar:
Walaupun saya pemilih golput, tapi setuju banget sama type kepemimpinan #jokowi, biar kata dia dianggap orang bejo, tapi orang2 seperti dia yg dibutuhkan untuk kemajuan bangsa, kapan ya Riau, atw minimal pekanbaru dapat pemimpin yg seperti ini?
Terima kasih untuk komentarnya, Pak Mulyono Yoceli. Untuk Riau dan Pekanbaru, ya kita-kita yang tinggal di dalamnya yang bisa menentukan. Pemimpin yang baik pun tak akan dapat berbuat banyak tanpa dukungan rakyatnya. Makin positif rakyatnya, maka makin mudah pemimpin baik muncul dan memerintah. Tetap semangat ya..
Posting Komentar