Minggu, 10 Maret 2013

Perayaan Hari Perempuan Internasional

Tanggal 8 Maret kemarin ternyata Hari Perempuan Internasional. Bener2 dah, apa karena ga gaul atau emang terlanjur apatis karena kebanyakan perayaan, Vitri baru tahu ada perayaan ini saat membaca undangan acara dari Jois, salah satu temen komunitas, tentang acara diskusi dan nonton bareng berkenaan Hari Perempuan ini.

Walaupun Jumat bukan hari berkomunitas (sudah komit sama keluarga kalau hari berkomunitas cuma Rabu dan Kamis), tapi mumpung ga ada acara keluarga dan si masnya juga ga di rumah, maka dengan senang hati diriku menyanggupi untuk hadir di acara tersebut. 

Sempat bingung cari tumpangan ke lokasi acara, Hotel Gaja, di Jalan Sutomo, sekitar jam 7.30 malam sampai deh di tempatnya para aktivitas wanita ngumpul.  Kaget juga ada banyak perempuan yang ikutan acara (akibat jarang banget ngumpul sama kelompok besar perempuan nih). Sempat clingak clinguk, eh si Jois melambaikan tangan memberitahukan keberadannya.. :)

Langsung ke tema acara, ternyata perayaan Hari Perempuan Sedunia / Internasional tahun 2013 mengangkat tema Tolak Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Wanita. Dimulai dengan film kartun dan film base on true story, peserta diskusi diajak aware bahwa kekerasan kepada wanita sangat dekat dengan kita. Perkosaan dan penjualan wanita merupakan kasus yang paling mengiris hati. Ditambah lagi dengan perampasan hak berekspresi (mengembangkan bakat dan kemampuan), hak merawat dan memelihara anak, hak mengajukan pendapat secara bebas dan sederajat dengan pria, hak memperoleh penghasilan yang sebanding dengan beban kerja (upah buruh pria lebih tinggi daripada upah buruh wanita untuk jenis tugas yang sama)

Hal menarik yang vitri cermati dan "tangkap" adalah paparan dari mbak Silvi, seorang aktivitas pendamping rekan2 pekerja seks.Hal yang disampaikannya ternyata masih sama seperti yang vitri temukan di tahun 2006 saat masih sering kelilingan main/ngobrol ke berbagai lsm (baca: aktivis lsm). Pekerja seks dan korban penjualan perempuan tidak sama. Yang satu bisa jadi atas dasar pilihan, yang kedua jelas terpaksa. Tapi ujungnya sering sama, dunia pelacuran. 

Mirisnya, pejabat yang notebene para laki-laki (di mana beberapa pernah ngaku bahwa selingkuh dan atau kawin lagi adalah sifat dasar laki-laki),  menyelesaikan masalah prostitusi dan praktek jual beli layanan seks dengan menghapus lokalisasi. Bagaimana dengan penghuni lokalisasi setelah lokalisasi hilang?  Terserah mau ke mana. Datangkan ustad, diminta kembali beragama, lalu lupakan.

Apakah  setelah itu layanan seks komersial hilang? 

Yang ada malah nyebar ke penjuru kota, masuk ke kantong-kantong permukiman, menghuni rumah-rumah kos yang makin banyak di dalam dan tepi kota. Yang desperate? Jaja diri di tepi jalanan. Ckckckckk..

Para nara sumber yang berasal dari DPRD Kota Pekanbaru, Bu Ade dan Ketua LSM perlindungan perempuan, Bu Riza berbicara tentang sulitnya menangani masalah wanita, terutama soal praktek penjualan wanita. Riau adalah daerah transit dan tujuan penjualan wanita untuk dijadikan pekerja seks. Ironisnya, Pekanbaru sebagai ibu kota Riau tidak punya shelter dan pusat perlindungan perempuan.

Saya tentunya ga tinggal diam. Ini sudah ada di dalam kepala dan hati sejak pertama kali masuk ke Lokalisasi TELEJU pada tahun 2006. 

Dan sebagai jebolan sekolah perencana, saya diajarkan bahwa tiap aktivitas manusia butuh ruang. Maka jika ada aktivas prostitusi, maka harus ada ruang untuk menampungnya. Menghilangkan ruang khusus untuk aktivitas ini, membuatnya mencari ruang di tempat2 yang tidak dapat diduga. Akibatnya? Dampak ikutan akan sulit dimonitor dan dikendalikan.

Coba deh diurutin satu-satu, dampak ikutannya. Dengan menyebarnya pekerja seks ke kantong permukiman, para suami jadi mudah "jajan" tanpa ketahuan istri karena bisa bertandang ke tempat layanan seks dengan dalih pegal2 dan butuh pijat/urut. Atau anak2 kecil yang belajar praktek lebih cepat karena kakak yang lagi kos di rumahnya sering dapat tamu pria di dalam kamar. 

Serem lagi nih, penyebaran HIV-AIDS benar-benar tak terlihat namun nyata terjadi di sekeliling kita. Bisa-bisa tiap si suami minta jatah ke istri, harus melampirkan hasil lab - bebas HIV

Jadi? Lokalisasi yang terkendali itu adalah solusi paling logis (menurut Vitri)
Kira-kira bisa ga ya hal ini mendapat persetujuan dari pejabat negara di Riau? Mumpung lagi musim pilkada dan pendaftaran caleg nih. Siapa yang siap berkata selain "Tutup Lokalisasi!! Hapuskan Prostitusi"

NB: 
Vitri akan tagih lho janjinya ibu-ibu yang bilang peduli dengan perempuan di acara Diskusi Hari Perempuan Sedunia dan bilang "Perayaan ini janganlah hanya seremonial. Harus ada kelanjutannya dan agenda pertemuan rutin" ;) 
Kalau ada salah sebut nama, tolong komen ya, ibu-ibu..

3 komentar:

admin GM mengatakan...

pertamax lanjutkan :)

ary shoes n colection mengatakan...

hallo maaf bukan sy sok pintar atau sok jadi pahlawan tapi ada yg komentar dr kawan2 yg tidak sy setujui melainkan pkl itu bukan lah sampah yg harus di usir atau di musnahkan mereka adalah pejuang pejuang handal dlm menyokong ekonomi negara kita tanpa mereka kita di tahun 98 saat krisis ekonomi global mungkin sudah hancur ekonomi kta disaat dunia eropa terguncang ekonominya hanya kita indonesia yg agak stabil dan lagi pula hanya mereka yg sanggup bertahan diwaktu gerai2 mall mall toko toko semaua pada tutup alias bangkrut tapi mereka tetap bertahan dan berjualan , bukankah kita tanpa mereka hanya akan menjadi budak budak ekonomi eropa yg dgn sengaja menanamkan modalnya berwira usaha di negara kita sedangkan pengusaha kita sendiri harus kita hilangkan dan terusir sungguh tragis nasib bangasa yg dijajah ekonominya oleh segelintir org org yg secara tidak langsung juga akan ikut mengatur inflasi ekonomi rupiah kita , pkl adalah pejuang sejati yg tidak pernah merengek kepada pemerintah utk minta di berikan modal juga merengek kepada pemerintah utk di carikan pekerjaan, malahan mereka turut menyokong kontribusi pad , hanya saja tinggal pemerintah itu sendiri harus secara bijak utk bisa menyikapi dan memperhatikan mereka sesuai yg di perintah kan bapak president kita sby melalui surat resminya yaitu PERPRES RI NO 125 THN 2012 TENTANG KOORDINASI PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA YG ADA DI INDONESIA KHUSUSNYA NKRI DAN PERMENDAGRI JUGA UUD THN 1945 pasal 27 ayat 2 yg ISINYA SETIAP WARGA NEGARA BERHAK UNTK MENDAPATKAN PENGHIDUPAN YG LAYAK SERTA PEKERJAAN YG LAYAK "dan semua itu di tanggung oleh pemerintah daerah maupun pusat juga turut diatur di dalam pancasila yaitu sila ke 2 serta sila ke 5 , apakah tnggapan sy terlalu berlebIhan jika sy mengharapkan pemerintah daerah utk lebih arif dlm menyikapi hal ini dan juga apakah perda kita yg mengatur masalah pkl sudah tepat dan pakah perda tsb tepat dan tidak bertentangan dgn perpres ri 125 dan permendagri serta uud 45 juga pancassila ke 2 dan ke 5 sementara mentri perekonomian sendiri pak hatta rajasa sendiri mengatakan di pertemuannya di sulteng dan jambi dgn pedagang kaki lima seindonesia yg bekerjasama dgn apkli juga ada pak syarif hasan mentri ukm dan koprasi bahwa sanya setiap pedagang bisa berdagang di mana saja kecuali di rel kereta api karna pasti di gusur kereta api nya sendiri , hah tinggal pemerintahnya sj yg harus sigap menyikapi nya utk mengolah sedemikian rupa lahan tsb supaya rapi dan bersih . oke .........!

Anonim mengatakan...

di jakarta di setiap hotel aja ada mbak, kita ga nyaripun ditawari sama org2 situ (walo ga semua nawarin, tp bbrp terang2an menawarkan jasa itu) miris