Jumat, 04 Februari 2011

Belajar dari Suharto dan Mubarak

Kedua tokoh ini dengan cara dan nasibnya masing-masing telah membawa negaranya melangkah maju dari posisi saat pertama kali mereka "menduduki" kursi presiden.
Keduanya mungkin sekali memiliki mimpi indah dan semangat berkobar untuk wujudkan apa yang mereka inginkan mengenai negara yang mereka pimpin..
Untuk beberapa saat (dan bukan masa yang singkat) negara yang mereka pimpin muncul sebagai negara-negara dengan karakter kuat sekaligus stabil..
Namun makin lama berkuasa tentu tidak lepas dari godaan dan gangguan dari kanan dan kiri..

Sebagai tokoh yang beda di puncak piramida, banyak sekali pendukung yang juga ingin melanggengkan posisi dan kesempatan tertentu yang telah mereka dapatkan selama berada di bawah sistem yang ada..
Lamanya berada di posisi puncak sering membuat seorang manusia tidak lagi punya tantangan yang "seimbang".
Terlalu banyak melihat dari atas membuat tokoh-tokoh hebat di masanya ini "jauh" dari akar rumput yang tadi menjadi pendukung setia kepemimpinan mereka
Terlalu banyak hirarki antara dirinya dan rakyat membuat informasi tak lagi sampai dengan murni..
Seperti yang sering disebutkan (termasuk Sang Nabi Muhammad SAW) bahwa titip uang kurang, titip kata-kata berlebih..
Inilah yang mungkin sekali terjadi pada tokoh-tokoh penegak kestabilan negara yang sudah pasti mereka cintai (karena mereka sama-sama ingin mati di negara tempat mereka lahir dan berkarya)
Mereka terlalu lama berada di posisi puncak. Tak tahu lagi mana yang benar-benar tulus membantu atau yang mana yang datang dengan kepentingan pribadi.. Yang paling logis adalah mempercayai istri dan anak-anak yang mereka miliki.
Karena itu tak jarang kemudian muncul istilah menyiapkan putra (atau putri) mahkota untuk menggantikan posisi panas yang mereka pegang terlalu lama.
Sungguh... saya hanya dapat merasakan kesepian yang mereka hadapi setiap harinya entah sejak kapan..

Lalu.....

Rakyat mereka cintai meminta mereka untuk mundur...

Tersentak... kedua tokoh ini langsung bereaksi dengan caranya masing-masing..

Kita sudah melihat keputusan yang diambil Suharto..

Dan kita sedang menunggu, keputusan apa yang akan diambil Mubarak

Mari belajar dari kedua tokoh ini, Saudara-saudaraku...

Terutama yang ingin berada di kursi panas di puncak piramida yang amat sungguh tinggi, dingin dan sepi..

7 komentar:

aridha prassetya mengatakan...

Hai Vit!

Bagus blog kamu! Beneran ! Tulisanmu cerdar dan mengalir, saya senang membacanya. Pasti saya rutin berkunjung sejak hari ini.

Soal Soeharto, Mubarak dan pemimpin-pemimpin lain, sebetulnya saya pernah menulis artikelnya. Judulnya "Ada apa di puncak sana". Di blog www.penulislepas.com, sayangnya sekarang sudah ganti wajah, jadi semua diperbaharui.
Intinya, kalau sudah berada di puncak, tidak ada jalan lain selain turun ke lembah. jika tidak, alam pasti akan mengusirnya untuk turun.

kita perhatikan pendaki gunung, mereka tidak akan lama di sana. Alam yang akan memerintahkan untuk turun dengan dinginnya, dengan sepinya dan dengan kekuatannya yang lain.

begitu juga pemimpin, mereka yang ada di puncak, jika tidak mau turun, alam yang akan menggerakkan mereka untuk turun.

what do you think about this?

Oh ya, soal koment vitri di karakter pemimpin papanputih.com, saya sudah balas.

salam bahagia dan selalu menulis!

aridha prassetya mengatakan...

Hai,

saya sudah mengedit karakter pemimpin,
and sudah masukkan usulan vitri, "berani", sebagai karakter yang ke 53.

check it :

http://www.papanputih.com/2011/01/karakter-pemimpin.html

Unknown mengatakan...

Wah...
terima kasih banyak, Bu.. atas komentarnya.. Mudah2an saya jadi makin tergerak untuk terus menulis. Walau memang untuk blog yang satu ini sangat bervariasi, tergantung pada keinginan dan perasaan yang muncuk saat ingin menulis..

Semoga dapat terus saling mengunjungi dan mendukung

Salam hangat

Unknown mengatakan...

hmm... soal pandangan Bu Aridha tentang kondisi di puncak, vitri tidak bisa tidak berpendapat. Memang seperti itulah kondisinya. Jika sudah berada di puncak ya secara natural pasti harus turun. Kalaupun mau lebih tinggi dengan bantuan helli toh artinya terlepas dari kenyataan (atau mungkin juga bisa berarti mangkat saat bertugas, hehehe)

Karenanya seorang calon pemimpin hendaknya tidak meletakkan posisi puncak sebagai tujuan akhir, namun hanya sarana untuk mencapai kondisi puncak wilayah yang akan dipimpinnya. Dengan demikian, mudah-mudahan ikatan untuk tetap menduduki posisi akan terkurangi.
Tiap calon pemimpin seharusnya sadar kalo dirinya bukan superman yang bisa menyelesaikan semua persoalan hanya dengan sendirian. Biarkan proses berjalan, dan tiap pemimpin di suatu waktu jabatan menjalankan bagian proses yang diperlukan. bukan melompat untuk mencapai hasil yang terlalu jauh. Karena kalo demikian yang terjadi malah terjun bebas..

aridha prassetya mengatakan...

He..he...
Buaknnya persoalan-persoalan itu ada di lembah? Bukan di puncak.

Maka sebaiknya, sering-sering turun ke lembah. Akan menjadi lebih bermanfaat.

What do you think?

Unknown mengatakan...

Kalau mau bicara soal masalah, di lembah dan di puncak ya tetap aja ada, bu. Di lembah kita memang mendapatkan deaerah subur karena sedimentasi humus yang turun dari puncak. Tapi kena resiko banjir. Sedangkan di puncak, kita bisa mengawasi wilayah kekuasaan tapi anginnya juga kuat sehingga kalo tidak hati-hati yang bisa terbang dan hilang..

Jadi pada dasarnya tetap harus sadar posisi saat ini dan nikmati dengan sepenuh hati..

Bagaimana, bu?

aridha prassetya mengatakan...

he...he...,
boleh, tetapi saya tidak suka di puncak dan tidak sedang berada di puncak.

so, tidak merasa perlu mengawasi daerah kekuasaan karena memang nda punya, he..he..

juga tidak mengkhawatirkan ada ancaman kencangnya angin.

ketika puncak diidentikkan dengan kekuasaan dan daerah kekuasaan yang dapat/harus diawasi, maka saya tidak mampu bilang apa-apa.

anyway, I appreciate.
keep writing and making progress.

salam sukses dan bahagia.