Hari Rabu dan Kamis tanggal 6 dan
7 Februari 2013, teman2 yang sering ngobrol di media sosial ngadain acara
ngumpul offline atawa ketemu muka di Omah Ilmu, tempat muasin hasrat nongkrong dan berkomunitas yang memang sudah setahun ini
Vitri buka untuk temen lama, temen baru dan calon temen baru yang suka ngumpul
dan ngobrol. Lebih bagus lagi kalo ngobrolnya ada misi dan tujuannya.
Nah, ngobrol hari Rabu bertemakan
Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pekanbaru. Dengan kondisi akhir-akhir ini yang
selalu diisi dengan tindakan penertiban PKL di beberapa ruas jalan serta
penolakan dari pedagangnya, kami-kami yang tergabung dalam grup “Tata PKL PKU”
jadi tak ingin diam saja. Bagaimana pun juga sebagai warga kota, ya ga mungkin
dong diem melihat “perseteruan” antar elemen pembentuk kota. Yang satu pemimpin
dan pengelola, yang satu adalah warga kota.
Obrolan ini berlangsung menarik
karena temanya memang menarik. Satu sisi pedagang memang punya hak untuk hidup
dan berusaha. Namun di lain pihak Pekanbaru juga punya aturan (yang dibuat demi
kenyamanan dan keamanan warga kotanya). Diskusi ini menyimpulkan bahwa “pembersihan”
Jalan Cut Nyak Dien dan sekitarnya dari PKL bukannya tidak masuk akal, bahkan
sangat masuk akal. Kenapa? Karena itu adalah lokasi pusat pemerintahan yang di
dalamnya ada bangunan-bangunan dengan fungsi strategis. Ada gedung Kantor
Gubernur Riau, ada Gedung Bank Indonesia yang merupakan bank sentral. Kedua
gedung ini punya fungsi strategis sekaligus rentan. Jika terjadi sesuatu pada
kedua bangunan ini, maka dapat dipastikan bahwa yang akan dirugikan adalah
Pekanbaru (dan Riau). Aktivitas PKL, terlebih tanpa pengawalan dan pengawasan
yang baik, tentunya akan sangat mungkin dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab.
Di sisi lain, pemerintah kota
juga tidak seharusnya “lepas tangan”. Harus ada perencanaan dan tahapan
penanganan bagi PKL. PKL ini warga kota yang benar-benar mengerti prinsip
ekonomi. Dengan modal serendah-rendahnya bertujuan mendapatkan untung
sebesar-besarnya. Jadi dengan prinsip
ini, mereka sangat peka dengan prinsip Location,
location, location. Jadi, pemerintah juga harus melihat penataan PKL dari
sisi ekonomi bagi pedagang. Pemindahan PKL ke lokasi baru juga jangan asal
pindah, tapi memang disertai dengan kepastian bahwa lokasi baru itu memang
menguntungkan.
Contoh penanganan PKL adalah Galabo di Solo seperti yang disampaikan
oleh Taufik Fiko.
Saran lokasi adalah lahan yang
pagi harinya digunakan sebagai lahan parkir sehingga sore harinya dapat
dimanfaatkan sebagai lokasi PKL. Syaratnya, jumlah PKL yang ditampung harus
jelas dan tidak akan bertambah. Pengawas lokasi itu melibatkan kelompok PKL
yang berusaha (ditempatkan) pada lokasi tersebut. Saran yang disampaikan oleh Dedi Ariandi ini menjadi bahan diskusi
tentang pencarian lapangan parkir yang dapat dimanfaatkan. Ada beberapa lokasi
yang mungkin, seperti Halaman Mesjid Agung An-Nur, bekas terminal Mayang
Terurai di Jl. Tuanku Tambusai, Terminal Senapelan (Pasar Kodim). Kira-kira di
mana lagi ya?
Diskusi berlanjut dengan membahas
keberadaan pasar tradisional modern yang marak di Pekanbaru. Keberadaannya yang
menggusur pasar tradisional pada awalnya bertujuan membenahi pasar tradisional
yang minim utilitas pendukung pasar seperti pengelolaan limbah padat dan limbah
cair yang dihasilkan oleh aktivitas pasar. Pertanyaan pertama, apakah pasar
yang lebih modern itu memang telah dilengkapi oleh utilitas dimaksud.
Pertanyaan kedua, apakah pedagang yang mengisi pasar tradisional modern
benar-benar pedagang yang tadinya menempati/beroperasional di pasar tradisional
yang ada sebelum pasar baru dibuat. Hal
ini perlu dicermati. Perhatian utama tentang tingkat akupasi pedagang lama di
tepat yang baru adalah kecemasan mengenai kemampuan pedagang itu untuk membayar
sewa tempat. Seharusnya peningkatan kondisi pasar tidak serta merta diikuti
oleh sewa lokasi yang mahal. Akibatnya segera dapat ditebak. Pedagang tidak
dapat memperoleh haknya atau mengalihkan hak tersebut ke pedagang baru,
sementara yang bersangkutan mencari lokasi lain yang lebih terjangkau.
Masih banyak sih yang dibicarakan
dalam diskusi tentang PKL tersebut, tapi ga akan dibahas semua di posting ini.
Yang pasti, kami-kami yang ngobrol sudah memutuskan untuk mulai mencermati
pasar-pasar tradisional yang ada di lingkungan masing-masing. Bagaimana
terbentuknya, siapa saja yang beroperasi dan siapa yang mengelola serta apa pun
informasi yang dapat membantu kita-kita untuk menyusun konsep penataan ruang
bagi PKL di Pekanbaru. Mudah-mudahan saja konsep ini nantinya dapat sedikit
mengurai ketegangan antara pemerintah daerah dan pedagang yang sama-sama punya
hak dan kewajiban di Kota Pekanbaru.
Oh ya, untuk perbincangan hari
Kamis akan dibahas di posting berikutnya ya..