Obrolan ini mungkin sekedar hal yang muncul dikepalaku
Bukan hasil analisis yang mendalam, tapi hanya pemikiran bebas
Pemikiran tentang tenaga kerja dan perusahaan ini muncul saat minggu lalu aku menemani papa ke Kecamatan Pinggir, sebelum Kota Duri. Menemani di sini bukan menemani si papa menghadiri acara, tapi sekedar menemani selama perjalanan pulang pergi dari Pekanbaru.
Saat itu hari Kamis, tanggal 15 Januari 2009. Papa punya agenda mendampingi serikat pekerja perkebunan PT ADEI yang sedang bermasalah dengan manajemen perusahaan.
Sebagai orang yang tidak terlibat langsung dan baru tau masalah ini saat itu, aku ya tidak berani memberi komentar terlalu banyak selain hanya mengamati peristiwa yang terjadi di depanku.
Dari yang kudengar dan kubaca, tenaga kerja PT. ADEI telah melakukan mogok kerja karena keinginannya untuk berunding masalah perubahan status tenaga kerja dari tenaga kontrak menjadi tenaga tetap tidak diindahkan oleh perusahaan. Sementara dari pihak perusahaan merasa bahwa tindakan tenaga kerja yang melakukan mogok tidak sah karena tidak memiliki unsur gagal perundingan. Akibatnya setelah memberi 3 "surat himbauan", perusahaan menganggap tenaga kerja yang mogok (lebih dari 300 tenaga kerja) telah mengundurkan diri. Karenanya, ketentuan pesangon karena PHK tidak dapat diberikan. Ironisnya, upah sampai dengan waktu sebelum mogok tak juga dibayarkan dengan alasan akan dibayarkan sekalian dengan hak-hak lain yang berkenaan dengan status pengunduran diri tenaga kerja.
Satu hal yang mengusikku adalah bagaimana hubungan perusahaan dan tenaga kerja yang sepertinya salah kaprah. Aku melihat bahwa di sini perusahaan melihat dirinya sebagai pihak yang berjasa karena telah mempekerjakan sejumlah tenaga kerja. Dan karena tenaga kerja tidak mengikuti aturan main (tidak jelas aturan main siapa, sepertinya aturan main perusahaan), maka perusahaan dengan mudahnya melepaskan mereka. Bukankah perusahaan seharusnya melihat bahwa keberadaan tenaga kerja sebagai aset perusahaan, bagian dari keluarga besar yang harus dirangkul dan diajak maju bersama? Arogansi perusahaan dalam menyikapi permintaan tenaga kerja sangat ironis dengan aturan-aturan yang telah dibuat untuk kesejahteraan tenaga kerja. Usia kerja yang lebih dari 5 tahun dianggap tidak ada sehingga dengan mudahnya menganggap tenaga kerja ini tidak penting. Apakah perusahaan tidak memikirkan bahwa tidaklah mudah mendapatkan tenaga kerja dengan pengalaman yang dimiliki oleh tenaga kerja yang telah dimilikinya? Lalu pengelakan perundingan yang kemudian dianggap tidak ada perundingan (menurut perusahaan artinya tidak ada istilah gagal perundingan) sehingga kemudian dapat menetapkan status mengundurkan diri, bukannya pemutusan hubungan kerja, rasanya menjadi upaya perusahaan untuk mengurangi pengeluaran yang dikeluarkan demi "mengusir" tenaga kerja.
Sangat disayangkan kalau hal ini kemudian tidak diselesaikan secara baik. Bukan hanya berarti perusahaan hanya mementingkan diri sendiri, tapi akibatnya juga akan mempengaruhi kondisi kesejahteraan dan keamanan wilayah tempat perusahaan itu berada. Coba dibayangkan, dengan tidak bekerjanya 300 tenaga kerja artinya ada 300 penganggur baru di satu wilayah. Ada 300 keluarga yang tidak akan mendapatkan penghasilan layak bagi kehidupannya. Misalkan saja tiap keluarga baru memiliki 1 orang anak usia sekolah, maka ada 300 anak yang terancam putus sekolah. Hal ini tentu saja akan sangat disayangkan. Dan sementara itu, perusahaan juga akan kehilangan 300 tenaga kerja yang berpengalaman. Proses perekrutan tenaga kerja baru tidak hanya sulit tapi juga melelahkan karena tidaklah mudah mendapatkan tenaga kerja yang bersedia bekerja di suatu kebun dengan kecakapan yang sama dan dengan ancaman mendapatkan perlakukan serupa beberapa tahun kemudian.
Satu hal yang kukagumi dari para pekerja adalah kemampuan mereka menahan diri untuk tidak bertindak anarkis. Tapi berapa lama mereka akan bertahan jika upah mereka tidak dibayarkan dan status mereka juga tak jelas?
Sudah sepantasnya tiap pihak yang berkaitan dengan masalah ketenagakerjaan turut memikirkan, bagaimana sebaiknya hubungan tenaga kerja dan perusahaan tempatnya bekerja.
3 komentar:
menurutku kesalahan paling besar pengusaha adalah merasa berhak atas hajat hidup karywannya setelah mereka membayar gaji, padahal ada hal yang gak bisa mereka beli dengan gaji yaitu harga diri dan kenyaman kerja
dimana-mana buruh selalu ditindas.
soal ketemuan kmrn,
sorry . lg sakit gigi
Posting Komentar