Kamis, 21 Maret 2013

Tahun 2013..

2013 sudah hampir berlalu 3 bulan...
Berhenti sejenak, mengevaluasi aktivitas yang sudah dilakukan.
Hfftttt..... Banyak yang positif tapi banyak juga yang ijal alias ga jelas (maaf ya pak, bang dan kakak yang namanya dicatut)
Mundur sedikit lagi, coba mengingat resolusi apa yg dibuat diawal tahun kamarin.
Beuughh... Amnesia dah. Lupa! Hahahaha..
Tapi yang jelas ingin menjadi manusia yang lebih baik, perempuan yang lebih baik.
Eh, tapi itu sih kudu, bukan resolusi ya...
Hmm... apa harus bikin statement ulang ya?
Hmmmm........

2013 sudah hampir berlalu 3 bulan...
Sudah apa saja yang terjadi?
Sudah kumpul2 dengan teman lama dan baru yang hebat dengan semangat hebat pula
Sudah menjajaki peluang-peluang baru untuk tingkatkan kepuasan hati sendiri
Sudah ngalamin emosi naik turun dengan gila-gilaan
Sudah berkali-kali kecewa tapi coba bangkit lagi

2013 sudah hampir berlalu 3 bulan...
Apa yang akan dilakukan nanti?
Kuatkan hati.. Kuatkan diri..
Minta pendampingan dari Illahi..
Mulai memilah dan mantapkan diri untuk melangkah..
Apapun yang terjadi akan selalu menjadi anugerah...

Minggu, 10 Maret 2013

Perayaan Hari Perempuan Internasional

Tanggal 8 Maret kemarin ternyata Hari Perempuan Internasional. Bener2 dah, apa karena ga gaul atau emang terlanjur apatis karena kebanyakan perayaan, Vitri baru tahu ada perayaan ini saat membaca undangan acara dari Jois, salah satu temen komunitas, tentang acara diskusi dan nonton bareng berkenaan Hari Perempuan ini.

Walaupun Jumat bukan hari berkomunitas (sudah komit sama keluarga kalau hari berkomunitas cuma Rabu dan Kamis), tapi mumpung ga ada acara keluarga dan si masnya juga ga di rumah, maka dengan senang hati diriku menyanggupi untuk hadir di acara tersebut. 

Sempat bingung cari tumpangan ke lokasi acara, Hotel Gaja, di Jalan Sutomo, sekitar jam 7.30 malam sampai deh di tempatnya para aktivitas wanita ngumpul.  Kaget juga ada banyak perempuan yang ikutan acara (akibat jarang banget ngumpul sama kelompok besar perempuan nih). Sempat clingak clinguk, eh si Jois melambaikan tangan memberitahukan keberadannya.. :)

Langsung ke tema acara, ternyata perayaan Hari Perempuan Sedunia / Internasional tahun 2013 mengangkat tema Tolak Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Wanita. Dimulai dengan film kartun dan film base on true story, peserta diskusi diajak aware bahwa kekerasan kepada wanita sangat dekat dengan kita. Perkosaan dan penjualan wanita merupakan kasus yang paling mengiris hati. Ditambah lagi dengan perampasan hak berekspresi (mengembangkan bakat dan kemampuan), hak merawat dan memelihara anak, hak mengajukan pendapat secara bebas dan sederajat dengan pria, hak memperoleh penghasilan yang sebanding dengan beban kerja (upah buruh pria lebih tinggi daripada upah buruh wanita untuk jenis tugas yang sama)

Hal menarik yang vitri cermati dan "tangkap" adalah paparan dari mbak Silvi, seorang aktivitas pendamping rekan2 pekerja seks.Hal yang disampaikannya ternyata masih sama seperti yang vitri temukan di tahun 2006 saat masih sering kelilingan main/ngobrol ke berbagai lsm (baca: aktivis lsm). Pekerja seks dan korban penjualan perempuan tidak sama. Yang satu bisa jadi atas dasar pilihan, yang kedua jelas terpaksa. Tapi ujungnya sering sama, dunia pelacuran. 

Mirisnya, pejabat yang notebene para laki-laki (di mana beberapa pernah ngaku bahwa selingkuh dan atau kawin lagi adalah sifat dasar laki-laki),  menyelesaikan masalah prostitusi dan praktek jual beli layanan seks dengan menghapus lokalisasi. Bagaimana dengan penghuni lokalisasi setelah lokalisasi hilang?  Terserah mau ke mana. Datangkan ustad, diminta kembali beragama, lalu lupakan.

Apakah  setelah itu layanan seks komersial hilang? 

Yang ada malah nyebar ke penjuru kota, masuk ke kantong-kantong permukiman, menghuni rumah-rumah kos yang makin banyak di dalam dan tepi kota. Yang desperate? Jaja diri di tepi jalanan. Ckckckckk..

Para nara sumber yang berasal dari DPRD Kota Pekanbaru, Bu Ade dan Ketua LSM perlindungan perempuan, Bu Riza berbicara tentang sulitnya menangani masalah wanita, terutama soal praktek penjualan wanita. Riau adalah daerah transit dan tujuan penjualan wanita untuk dijadikan pekerja seks. Ironisnya, Pekanbaru sebagai ibu kota Riau tidak punya shelter dan pusat perlindungan perempuan.

Saya tentunya ga tinggal diam. Ini sudah ada di dalam kepala dan hati sejak pertama kali masuk ke Lokalisasi TELEJU pada tahun 2006. 

Dan sebagai jebolan sekolah perencana, saya diajarkan bahwa tiap aktivitas manusia butuh ruang. Maka jika ada aktivas prostitusi, maka harus ada ruang untuk menampungnya. Menghilangkan ruang khusus untuk aktivitas ini, membuatnya mencari ruang di tempat2 yang tidak dapat diduga. Akibatnya? Dampak ikutan akan sulit dimonitor dan dikendalikan.

Coba deh diurutin satu-satu, dampak ikutannya. Dengan menyebarnya pekerja seks ke kantong permukiman, para suami jadi mudah "jajan" tanpa ketahuan istri karena bisa bertandang ke tempat layanan seks dengan dalih pegal2 dan butuh pijat/urut. Atau anak2 kecil yang belajar praktek lebih cepat karena kakak yang lagi kos di rumahnya sering dapat tamu pria di dalam kamar. 

Serem lagi nih, penyebaran HIV-AIDS benar-benar tak terlihat namun nyata terjadi di sekeliling kita. Bisa-bisa tiap si suami minta jatah ke istri, harus melampirkan hasil lab - bebas HIV

Jadi? Lokalisasi yang terkendali itu adalah solusi paling logis (menurut Vitri)
Kira-kira bisa ga ya hal ini mendapat persetujuan dari pejabat negara di Riau? Mumpung lagi musim pilkada dan pendaftaran caleg nih. Siapa yang siap berkata selain "Tutup Lokalisasi!! Hapuskan Prostitusi"

NB: 
Vitri akan tagih lho janjinya ibu-ibu yang bilang peduli dengan perempuan di acara Diskusi Hari Perempuan Sedunia dan bilang "Perayaan ini janganlah hanya seremonial. Harus ada kelanjutannya dan agenda pertemuan rutin" ;) 
Kalau ada salah sebut nama, tolong komen ya, ibu-ibu..