Minggu, 06 Desember 2009

Apriori: budaya dasar atau hasil pengajaran?

Melihat berita akhir-akhir ini membuatku jadi berfikir.

Kasus bank century dan hak angket yang diusung oleh DPR, Mr.Presiden yang berulang kali menyatakan "perasaannya" sehingga menimbulkan polemik, hingga pada pelarangan film dokumenter Balibo Five yang diproduksi oleh Australia.

Setiap pemberitaan dan reaksi yang dikeluarkan oleh masyarakat (lewat komentar-komentar di berita online dan situs-situs pertemanan) seperti serpihan kertas yang berhamburan di bumi Indonesia yang (dulu) diagung-agungkan memiliki karakter ramah. 

Kesan ramah dan terbuka terhadap orang atau budaya asing entah kapan telah berubah menjadi budaya saling curiga, membuat provokasi dan berputar-putar di dalam lingkaran dan bola yang gelap. Koq ya lama-lama seperti hamster aja, hehehe.,

Apa yang salah di sini? apakah para pembuat buku yang salah menyelami budaya bangsa sehingga yang tertera di buku dan dihapalkan anak-anak SD (minimal zamanku dulu sih. ga tau deh sekarang) ataukah memang terdapat pergeseran budaya akibat penghilangan pengajaran tentang budi pekerti?

Mengambil kasus yang paling baru saja, yaitu tentang pelarangan pemutaran film dokumenter Balibo Five. Di masa persebaran informasi yang sangat mudah seperti ini, pelarangan sepertinya hanya membuat orang menjadi penasaran dan mengemukakan keberatan secara terbuka. Bahkan kemudian muncul kelompok yang terang-terangan "melanggar" larangan tersebut. 

Pernyataan beberapa pihak yang menyudutkan film ini malah membuat film ini menjadi lebih populer. Dan yang menurutku berbahaya justru akibat berikutnya. Dengan berbagai kemampuan serap informasi yang beragam, pihak-pihak yang penasaran dan menonton secara sembunyi-sembunyi atau sepotong-sepotong lewat internet malah membuat informasi yang ingin disampaikan film tersebut menjadi tidak lengkap. Penafsirannya menjadi sangat-sangat subjektif.

Sama seperti film 2012 yang sempat menimbulkan gelombang protes dari beberapa kelompok agama justru membuatnya makin dicari masyarakat.

Jadi, untuk film yang dipercaya beberapa pihak (khususnya pemerintah) akan membahayakan posisi Indonesia-Timor Leste dan TNI seharusnya disikapi dengan lebih bijaksana. Masa sekarang dikala anak umur 3 tahun saja bisa protes kalo diharuskan tidur siang dan meminta alasan kenapa harus melakukannya, maka tentunya sikap terhadap film yang menjadi konsumsi banyak orang dewasa ini juga harus lebih rasional.

Menurutku tidak ada penuturan sejarah yang benar-benar tepat. Perbedaan itulah yang membuat orang menjadi lebih kaya, mencoba memahami berbagai cara pandang seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu peristiwa.

Jadi biarkan sajalah film dokumenter yang diproduksi oleh teman2 (sebagai warga dunia yang berfikir dan berperasaan positif, tiap orang di dunia adalah teman) di Australia itu. Jika memang pemerintah Indonesia atau pihak-pihak lain merasa memiliki informasi atau data yang berbeda, buatlah tandingannya (ide ini telah disampaikan beberapa pihak). Atau kalau memang membuat film tidak mudah, minimal buatlah forum-forum diskusi yang mendampingi pemutaran film Balibo Five. 

Seharusnya kita mulai meninggalkan budaya berprasangka. Mulailah membawanya ke tataran yang lebih rasional dan objektif. Buat masyarakat lebih pintar dengan mendiskusikan perbedaan dan menerima perbedaan cara pandang atau cara pikir. Bukannya memaksakan satu pemikiran dan mematikan yang lain.

Selamat belajar